Di dalam kamar ukuran kecil, pada ranjang besi tua berhias kelambu koyak warna putih bermotif bunga-bunga kamboja, ibu terbaring menggigit bantal agar suara tangis pecahnya tertahan. Rambut putihnya kubelai lembut.
"Maafkan Ibam, Bu!" Kutempatkan badan, melipat kedua lutut, bertumpu pada telapak kaki dengan bokong tidak rapat ke lantai. Berjongkok di depan tempat tidur yang sedikit pendek, kemudian merapatkan dahi pada kening keriputnya. Air mata berlomba menyusuri seprei yang juga tlah usang.
"Bu!" masih tersedu-sedu. Kubiarkan Ibu menikmatinya dulu. Biarkan rinai hujan menghapus jejak kelam yang tertorehkan. Terbawa arus kemudian menghilang dan kelak perasaannya kembali pulih.
"Sudah, nak. Itulah resikonya menikah dengan kasta yang berbeda. Sulit menyatukan pandang. Pun sama denganmu, pasti kau kepayahan mengikuti gaya dan kebiasaan istrimu sedari kecil. Begitu juga dengan Risma. Maafkan dia. Bimbinglah ke jalan yang benar. Sudah jadi tugasmu sebagai seorang suami" Ayah menepuk bahu sebelah kiriku seraya menasehati dengan amat bijak. Suasana kian sendu, namun secara mendadak keributan dari arah luar mengalihkan perhatian. Teriakan yang kutahu siapa pemiliknya.
"Risma! " mataku dan Ayah saling menatap.
"Bu, tunggu disini sebentar." ucapnya
"Ayo, Ibam! Kami percepat langkah menuju sumber suara."Apa-apaan ini? Bian. Sudah! Biarkan kakakmu yang mendidik istrinya. Kau tidak berhak main hakim sendiri."
"Laki-laki lembek begitu mana bisa meluluhkan perempuan batu seperti dia" Bian menunjuk ke arah Risma sambil menyemburkan ludah yang nyaris mengenai istriku .
"Kenapa belum pergi dari sini? Hah?" singkat tapi jelas bentakanku.
"Aku takut, mas!" Wajah Risma mendadak pucat, matanya sayu, tapi tidak mengurangi rasa benciku.
"Pergi sana! Rumah ini terlalu jelek untuk kau tempati. Kau tidak cocok disini!" sambung Bian yang berkacak pinggang sambil mendongak dengan baju batik seragam kantornya.
"Ayah, aku takut pulang sendiri!" Risma melangkah dua jengkal sembari mengadu pada mertuanya. Dia tahu orang yang dihina punya seribu alasan untuk selalu memaafkan.
"Sudah, Ibam, Bian. Kasihan Risma. Apalagi ia tengah mengandung, kondisinya pasti terasa berbeda" Nasehat Ayah sambil menatap kami persatu.
"Biar dia tahu beratnya pengorbanan ibu. Hamil, melahirkan, membesarkan, ehh sialnya, pas menikahkan anak, malah dapat mantu gila." Bian kembali menyindir.
"Terima kasih, Ayah. Tidak masalah kalau harus tidur di mobil. Asal jangan paksa aku pulang ke kota sendirian."
"Kau yakin?" tanya Ayah heran. Tanpa berkata, aku masuk kembali ke dalam rumah disusul Ayah dan Bian.
***
"Ibam, bangun, Nak. Sudah subuh!" Tangan kasar menepuk-nepuk pipiku agar terbangun. Tidak berasa semalam tertidur di samping Ibu.
"Bu! Maafkan Ibam" terburu kubuka mataku kemudian bangkit memeluknya yang sudah tertutup rapi dengan mukenah.
"Sudah. Ayo kita shalat berjamaah dulu!" godaan untuk tidur kembali setelah semalaman begadang membuat mataku terpaksa kubuka. Penglihatan buram sampai normal setelah berwudhu. Lalu berjalan menuju tempat kami shalat dan mengaji. Walaupun rumah sempit, tapi Ayah sengaja membuat satu ruangan khusus untuk ibadah. Hanya di sini berlantaikan tegel. Sisanya cuma disemen kasar sehingga terkadang kaki sakit saat berjalan.
Setibanya, kulihat dua orang perempuan duduk berdampingan di barisan makmum, tangan spontan mengucek-ngucek kedua mata kembali.
"Siapa yang menyuruhmu masuk kesini?" bentakku sambil menunjuk Risma. Mereka serentak membalik bersamaan.