ISTRI BOROS
Part 21
#istriborosSaat tengah terlelap, Risma membangunkanku untuk shalat berjamaan di rumah. Menepuk pelan di bagian wajah, hingga samar-samar terlihat ia sudah terbalut mukenah. "Bangun dulu, Mas!" ucapnya. Setelah jiwa dan raga kembali menyatu dan membaca doa bangun tidur, aku bangkit dari tempat tidur. Kusapu bagian mata agar bisa memandang jelas. Risma duduk di sampingku.
"Kita shalat berjamaah dulu! Ayo berwudhu, Mas! Tak ada kebahagiaan yang lebih daripada ini. Satu persatu tujuan menikahi, mulai nampak. Walaupun sempat karakter Risma sulit kuatur bertahun lamanya, tapi setidaknya ia sudah rajin shalat dan bisa mengaji.Dengan tatapan bersarat makna, hanya kubalas anggukan ajakan istriku dan bergegas mensucikan diri. Selepas itu, ia yang menunggu di lantai kosong depan ranjang, kutanyai, " bisa shalat berdiri atau mau duduk saja?" dijawab, "insya allah berdiri, Mas!"
Penuh hikmat, kami menjalankan kewajiban dua rakaat. Meminta doa, dan berzikir setelahnya. Tidak ada lagi Rismaku yang tidur seusah terpaksa shalat itupun disertai omelan karena disuruh bangun. Menguap setelah berwudhu, sehingga tidak khusyu saat berjamaah.
Hari ini Ia mencium tanganku lama sekali. Punggung tanganku basah terasa karena dipenuhi rinai hujan dari kornea matanya. Rismaku pelan tapi pasti kuyakin dia akan berubah jauh lebih baik."Sudah, sayang!" kubelai kepalanya saat ia masih tertunduk menjabat. Ia mengangkat tubuh lalu mengganti salaman dengan pelukan.
"Mas, terima kasih, yah!" ia tersenyum.
"O, iya, Mas! Hari ini, kamu ke kantor saja. Insya Allah kondisiku sudah agak stabil. Nanti kalau mulai pusing, kan tinggal kutelfon orang rumah!" ekspresi wajahnya berubah semangat.
"Kau yakin? Kalau belum bisa ditinggal, tidak apa-apa mas minta izin lagi ke kantor. Kurasa mereka akan mengerti!" Tanyaku sembari memperhatikan wajahnya. Istriku Risma tergolong wanita yang amat cantik parasnya. Wajahnya cenderung oval, alis rapi terbentuk meski tidak pernah disulam. Bibirnya juga begitu, terbelah dan merekah bak delima. Hidungnya mancung, matanya coklat dengan bulu melentik tanpa diberi polesan. Cantik masyaAllah.
"Sudah beberapa hari kau tidak masuk, mas. Aku tidak apa-apa! Tapi, maaf lagi-lagi tidak bisa mengurusimu di pagi hari. Makan di luar saja, tapi awas kalau berdua Anita!" bibirnya dimonyongkan. Lucu sekali!
"Iya-iya!" ucapku sambil memberantakkan rambutnya setelah melepas mukenah
***
Diperjalanan dan setiba di kantor, sebisa mungkin kuhindari Anita. Kalau kulihat ia, kucari jalan lain agar tidak berjumpa. Walaupun memang agak sulit karena pekerjaan kantor yang mengharuskan kami sering bersama. Ia sebagai sekertaris kantor, mau tidak mau, setiap meminta izin ataupun ada keperluan, mesti dikonfirmasi melalui Anita.
"Permisi, Pak!" dari suaranya itu Anita, aku tertunduk berpura-pura menyusun berkas.
"Masuk saja!" ucapku.
"Saya ditugaskan pak Askari untuk memanggil bapak ke ruangannya. Katanya, ada yang mau dibahas." aku tersentak seketika. Perasaanku tiba-tiba tidak enak, namun kuusahakan pikiran selalu positif. "O, iya. Terima kasih!" ucapku.
Setelah kuperkirakan Anita sampai di meja kerjanya, aku juga keluar menuju ruangan pas Askari. Direktur divisi.
"Permisi!" ku sapa beliau yang sedang sibuk dengan laptopnya. Hanya menggunakan kemeja biru muda dengan rambut ikal.
"Pak ibam, silakan masuk!" sambutnya. Aku sedikit menundukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Lalu berjalan dengan gagah padahal sedang deg-degan.
"Bagaimana perkembangan di territorymu?" tanya pak Askari.
"Ada satu distrinutor yang sudah tidak perfom, Pak." walau sedikit ragu, tapi harus kukatakan yang sebenarnya.
"Trus, plannya gimana?" ucapnya kembali.
"Saya agak bingung, Pak. Karena ownernya sudah tidak sanggup lagi menalangi kerugian akibat omset yang menurun drastis." beberapa kali kumainkan tangan karena terlalu gugup.
"Jadi tutup?" ahh, semua pertanyaannya serasa menjebakku.
"Iya, seperti itu Pak!" kusapu kening, padahal sedang tidak berkeringat. Pak Askari terlihat mengambil pulpen lalu menggoyang-goyangkan sambil mengangguk.
"Kau sudah dengar kalau akan ada wilayah yang disatukan?" tanyanya lagi.
"Sudah, Pak!" jawabku seadanya.
"Dengan berat hati, untuk semua territorymu akan diambil alih oleh bapak Miftahul Khair selaku yang lebih senior. Dan kamu akan kutugaskan sebagai area SPV. Jika setuju, silakan hubungi HRD untuk tanda tangan kontrak ulang. Kalau tidak, secepatnya akan mencari orang baru!" kalimat yang diucapkan oleh pimpinan, serasa mencabut sebagian nyawaku. Bukan mendahului takdir, tapi gaji yang turun drastis bisa saja membuat Risma kecewa dan kemungkinan berulah lagi seperti dulu. Mati-matian kupertahankan perjuangkan pekerjaan ini, sehingga karirku setara dengan para senior yang lebih dulu masuk ke perusahaan. Alhasil, dalam jangka sepuluh tahun bekerja gajiku yang hanya jutaan melonjak tajam ke angka puluhan juta.
dengan berat hati kukatakan, "Beri saya waktu seminggu, Pak. Untuk menimbang-nimbang lanjut tidaknya!"
"Jangan terlalu lama, Pak Ibam. Besok pagi, saya sudah dapat kepastian!" balasnya seakan memaksa.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu!" kembali membungkukkan sedikit tubuh dan berjalan ke luar ruangan dengan hati yang risau. Bagaimana dengan Rismaku. Ia baru saja terpukul setelah keguguran. Lalu ditambah lagi masalah turun jabatan. Ampuni aku Tuhan. Astagfirullahaladzim!
***.
Kalau biasanya waktu di kantor terasa lama, berbeda hari ini. Terasa jarum jam berlomba-lomba menunjuk angka empat. Apa yang harus kukatakan ketika sampai di rumah nanti. Kuarahkan mobil menuju pantai tempat family gathering dulu digelar. Sejenak duduk memeluk lutut di atas pasir. Kubiarkan air menyapu kakiku saat mengombak. Naik kemudian turun kembali kelaut lepas. Datang menyapa lalu pergi tanpa permisi. Seperti kehidupan, tak ada yang abadi. Segumpal darah di kandungan istriku, serta jabatan yang setengah mati kugapai menghilang dari genggaman. Ilmu ikhlas yang diajarkan ibu, belum sepenuhnya kukuasai. Masih ada tangis dan sesak ketika kenyataan tak sesuai dengan keinginan. Antara ditinggalkan dan meninggalkan, tidak sepenuhnya bisa kurelakan.
Di depan mata lautan terhampar luas, semakin dalam semakin indah biru terlihat jelas. Kupejamkan mata dan menghirup udara yang kian mencekam. Burung camar bersautan seakan menghibur hati yang sedang gundah. Kadang terbesit di hati, "mengapa begitu banyak cobaan menimpa", tapi lagi-lagi kutepis dengan terus-terusan melafalkan, "Astagfirullahaladzim. Aku memohon ampun kepada Allah. Astagfirullahaladzim. Aku memohon ampun pada Allah". Sejak kecil sudah diajarkan rukun iman. Lalu, bagaimana bisa aku meragu sedangkan jelas tertulis di poin ke enam bahwa hamba semestinya juga ber 'iman kepada Qada dan Qadar' adalah menyakini, memiliki, mempercayai bahwa segala yang terjadi di dunia ini telah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah SWT.
Seorang pria tua menjajakan es buah keliling sedangkan cuaca tampak mendung. Ia singgah menawarkan dagangannya di dekatku. "es buah, Nak. Cuma lima ribu!" ia duduk berlutut, agar bisa kupilih-pilih gelas mana yang ingin kuambil. Walaupun sedang tidak haus, tetap kubeli beberapa. "Kenapa masih jualan es, Pak? Inikan mendung." tanyaku sambil menyodorkan uang dua puluh ribu yang kuambil di saku. "Sebentar lagi hujan. Apa ada masih ada pembeli?" tambahku.
"Ada, Nak. Kamu yang beli kan?" ucapnya tertawa.
Kubalas senyum dan bilang, "Kan ini masih banyak, Pak. Kalau kubeli empat. Sisanya masih enam sedangkan pengunjung hari ini tidak ramai."
"Kalau memang rezeki, pasti akan datang dengan sendirinya. Asal jangan berputus asa, Nak! Kalaupun tidak laku, bisa kusedekahkan ke para pedagang-pedagang disana. Pasti ia haus. Lagipula, bersedekah sedikit, bisa memanggil rezeki lain yang jauh lebih banyak. Tapi, rezeki tidak melulu tentang uang. Kesehatan, keluarga, serta bertemu dengan orang baik, juga rezeki. Saya ke sana dulu ,Nak!" ucap bapak tua itu kemudian berlalu.
Pipiku terasa ditampar. Hati bertanya-tanya, apa selama ini aku kurang bersedekah sehingga rezeki seret ? Ataukah menjadi hamba yang kufur atas nikmat yang telah diberi akibatnya satu persatu diambil kembali? Astagfirullahaladzim.