Bertengkar hebat
"Sayang, buka dong pintunya. Sudah pagi ini. Bajuku semua ada di dalam. Nanti kalau telat bagaimana?" berkali-kali kuketuk pintu dan membujuknya agar bisa masuk dan akhirnya meluluh juga. Sekadar membuka pintu, tapi tak mau menatap ke arahku.
"Tolong bikinkan sarapan, yah. Hari ini semua pembantu izin mudik." sengaja kuberi libur para asisten rumah tangga semalam. Aku ingin menguji bagaimana perlakuan istriku jika tak ada yang bisa diharapkan mengurus segala kebutuhan rumah tangga.
"Selama kau tidak bisa memberi apa yang kubutuhkan, jangan harap bisa mendapat perlakuan khusus!" bentaknya.
"Risma, kurang apa lagi suamimu ini? Hampir selama kita menikah, belum cukup sepuluh kali kau melayani suamimu di meja makan. Jangan ditanya menyiapakan pakaian kantor, nyaris tidak pernah. Tapi tuntutanmu setiap hari betul-betul keterlaluan. Sepuluh tahun sudah aku berusaha memaklumi, tapi kau justru semakin melunjak." Sabar memang tak berbatas, namun porsi sabarku hanya sampai disini.
"Siapa yang menyuruhmu menikahiku, yang paksa menikah dengan perempuan keturunan konglomerat siapa? Hah!" biasanya mendengar Risma seperti itu, nyaliku menciut, tapi kini tidak lagi.
"Baik, mulai sekarang semua terserah kamu. Mau tinggal atau keluar dari rumah ini. Terserah! Aku betul-betul muak dengan tingkahmu itu!" Wajah istriku seketika panik mendengar ucapanku. Baru kali ini aku semarah itu.
Kutinggalkan ia di kamar dengan ekspresi tidak habis pikir.***
"Pak, Ibam, tumben wajahnya kusut seperti itu" memang sulit menyembunyikan rasa jengkel di rumah tadi. Anita menyapa disaat yang tepat. Saat hatiku butuh dihibur.
"Sudah sarapan, Pak? Kalau belum, ayo kita makan bareng. Dengan teman-teman yang lain juga. Kebetulan tadi subuh sengaja kubuat sarapan yang agak banyak untuk dibagi ke teman kantor" Ada sedikit pengharapan agar Risma bisa melakukan hal yang sama. Kusuap sedikit demi sedikit, rasanya benar-benar nikmat. Andai istriku seperti Anita. Astagfirullah. Lagi-lagi setan mulai merasukku. Tapi sampai kapan aku bisa menjaga hati jika kelakuannya tak berubah sedikitpun.
"Terima kasih, yah. Rasanya enak!" kubalas semangkuk bubur dengan senyuman seadanya. Semoga hati selalu terjaga dari godaan berselingkuh.
Seharian aku tidak berkonsentrasi dalam bekerja. Pikiranku hanya tertuju pada nasib yang semiris ini. Orang tuaku hampir tak bisa menikmati seperserpun gajiku, sedang istri yang berusaha kunafkahi lahir batin, tak tahu berterima kasih.
Setelah jam pulang kantor, aku melihat Anita sedang menunggu angkutan umum. Lagi-lagi aku takjub. Gajinya yang lumayan tinggi, tak serta merta membuatnya congkak. Ia lebih memilih angkutan umum daripada mobil pribadinya karena ingin berbagi pada sesama dan mengurangi angka kemacetan kota. Sungguh mulia dia.
"Mau pulang bareng?" kuberanikan diri mengajaknya pulang karena sedsri tadi angkot tak satupun yang melintas. Apalagi sebentar lagi petang dan hujan, bahaya gadis jalan sendiri.
"Tidak usah, Pak. Terima kasih!" ucapnya menolak halus.
"Ayo, tidak usah sungkan. Kan rumah kita sejalur. Ayo, sebentar lagi petang juga akan hujan deras." sedikit memaksa akhirnya ia setuju.
Salahkah jika ada sedikit rasa takjub melihat gadis yang tengah duduk bersamaku di atas mobil?
"Kenapa belum menikah?" tanyaku.
"Belum dapat jodoh, Pak!" gadis sepertinya yang nyaris sempurna ini belum dipinang siapapun, andai.... Astagfirullah. Ada apa dengan pikiranku
***
Setiba di rumah dan memarkirkan mobil, tiba-tiba Risma muncul dari arah dalam. Dia yang membuka pintu.
"Tumben!" ucapku dalam hati. Iya, memang tidak seperti biasanya. Ia lebih dulu pulang daripadaku.
"Mas, kau capek?" ia tersenyum manis sekali, tapi rasa jengkelku masih mendominasi.
"Bukan urusanmu!" jawabku.
"Kau masih marah?" tanyanya kembali.
"Apa pedulimu!" kuucapkan kemudian berlalu membiarkannya sendiri di depan pintu.