ISTRI BOROS PART 9

812 17 0
                                    

ISTRI BOROS
Part 9
#Istriboros

Bian tak menjawab pertanyaanku. Hanya mencari cela agar bisa meraih Risma yang bersembunyi di belakang. Sebagai suami, tentu aku akan melindungi istriku.

"Sini kamu!" Bian masih bersikeras menarik Risma

"Mas, tolong aku, Mas!" Risma meremas-remas bajuku karena takut. Membuatku hilang keseimbangan.

"Bian, hentikan. Kamu kenapa, hah?" aku mulai emosi melihatnya seperti orang gila.

"Tanya istrimu itu. Dia apakan Ibu?"
"Jangan dengarkan, Mas!" lalu ditampik Risma.

"Sialan kamu. Istrimu ini melempar uang ke wajah ibu. Tidak sudi aku punya keluarga tidak berprikemanusiaan" *ccuihh* ia meludahi lantai.

"Dasar perempuan keparat! Sini kamu!" akhirnya pertahananku jebol. Bian tak bisa kukendalikan. Ia menyeret Risma ke dalam lalu didorongnya hingga terbentur di meja.

"Perempuan sinting!" berkali-kali dia mengumpat sambil menampar pipi kiri dan kanan istriku secara bergantian.

"Hentikan, Bian!" aku berusaha melepaskan Risma dari amukan Bian. Tapi adikku terlalu kuat sehingga setiap aku mendekat, ia mendorong kembali.

"Jangan mendekat, atau kubunuh istrimu ini?" ucap Bian sambil menarik rambut Risma.

"Mas. Tolong aku!" melihat istriku berderai air mata, kukerahkan seluruh tenaga untuk melawan adikku sendiri. Hingga Risma berhasil kudekap. Lalu melayangkan sebuah pukulan di wajah Bian.

"Mas. Aku takut!" Risma memelukku erat. Sedang Bian yang masih memegang pipi yang tadi kuhantam.

"Semua bisa dibicarakan baik-baik. Jangan bertingkah seperti itu, kalau tidak, kulapor kau ke polisi!" kutunjuk ke arahnya.
"Sekarang kau keluar dari rumahku!" ucapku kembali.

"Baik, kalau itu maumu. Selamatkan saja istrimu yang kau puja seperti dewi itu. Matamu memang telah buta setelah menikah dengan orang kaya!" kalimat terakhir Bian sebelum keluar dari rumahku.

"Mas, aku takut!" kata itu selalu diucapkan Risma. Setelah pelukannya mulai melemah, kuiring dia menuju sofa ruang tamu.

"Risma, jujur saja daripada harus menutupi kesalahanmu terus. Apa yang kau lakukan pada ibuku?" Risma masih tertunduk ketakutan.

"Tidak ada, Mas. Mungkin mereka terlanjur membenciku jadi membuat cerita seolah-olah aku yang salah lalu kau meninggalkanku! Ia menyusulku yang duduk di sofa depannya.

"Apa kau tidak berbohong?" tanyaku kembali.

"Lihat mataku, Mas. Apa ada tanda-tanda ketidakjujuran?" ia menatap mataku seperti tidak ada yang disembunyikan.

"Kenapa hatiku tidak enak?" tuturku

"Mungkin hanya perasaanmu!" jawabnya lagi

"Tapi...." belum sempat kusambung, Risma berkata "untuk apa hubungan ini kalau suamiku sendiri tidak memepercayaiku!" sambil menangis ia berlalu.
Kuikuti langkahnya.

"Maafkan, Mas sayang. Aku hanya tidak habis pikir kenapa Bian seperti itu." kuraih tubuh langsingnya lalu kupeluk erat kembali untuk mencairkan suasana.

                                                         ***

Walau hari kantor, aku meminta izin untuk tidak masuk hari ini. Sengaja tak kuberitahu Risma sebelumnya agar tidak ada alasan untuknya menolak jika kuajak ke rumah ibu.

"Halo, Anita?" sapaku diujung telepon.

"Iya, Pak ada apa?" balasnya.

"Hari ini aku tidak masuk yah, tolong buat laporan aku cuti mendadak karena ada urusan penting!" ucapku terburu-buru.

"Tapi, Pak" Risma datang, buru-buru kututup telepon. Dia pernah cemburu pada Anita dulu. Soal diizinkan atau tidak, urusan belakang.

"Siapa, Mas?" ia memang selalu penasaran setiap aku bicara diujung telepon.

"Teman kantor. Aku minta izin cuti hari ini. Kau siap-siap kita ke rumah ibu" matanya melotot saking kagetnya. Tapi ia tidak bisa menolak lagi.

"Baik, Mas." jawabnya singkat.

"Ayo, kita berangkat sekarang!" seruku.

"Aku ganti baju dulu!" katanya.

"Tidak usah!" hanya buang waktu jika menunggunya berpakaian. Lama!

Setelah naik di mobil, Risma tiba-tiba bilang bahwa kepalanya pusing.

"Mas, kepalaku pusing!" sambil memegang dahinya.

"Sebentar kita singgah di apotek beli obat!" jawabku seperti tidak begitu khawatir.

"Tapi, mas!" kuarahkan pandangan ke Risma, tubuhnya sudah lemas seketika.

"Risma, bangun!" sambil menepuk pipinga berkali-kali tapi dia tidak merespon. Kulaju mobilku ke arah rumah sakit dan langsung menuju UGD.
Sekitar setengah jam menunggu, dokter kemudian memberi tahu, "selamat, pak usia kehamilan istrinya sudah empat minggu"
Rasa bahagia dan penasaran berkecamuk di hati. Antara bayi yang telah lama kunanti dan ingin mendapat jawaban dari ibuku di kampung.

ISTRI BOROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang