ISTRI BOROS
Part 15
#istriborosSepulang shalat berjamaah di mesjid. Ibu dan Risma jalan berdempetan menuju rumah. Memakai mukenah sambil menenteng sajadah. Kontras perbedaan jenis kain dan warna yang baru dan mulai memudar. Risma yang tubuhnya agak tinggi ketimbang ibu, terlihat sesekali memegang tangannya saat Ibu nyaris tersandung batu. Penampakan yang tidak pernah kutemui sekian lama.
Sedang aku berdua ayah jalan di belakang mereka seperti pengawal. Dengan baju kokoh biru muda, songkok hitam bulu, sarung kotak-kotak, serta sendal jepit hijau putih yang dipakai dari kampung menjadi ciri khasnya. Orang-orang yang melihat, bertanya "itu Ayahnya pak Ibam?" -mungkin- agak heran. Rumah anak sebesar istana tapi penampilan orang tua berbanding terbalik.
Ada sesal dan kesal pada diri sendiri. Dikuliahkan susah payah hingga sukses di rantauan, menikahi orang kaya, tapi tak ada sumbangsih pada ayah ibu untuk mengantarnya keluar dari kesengsaraan. "Anak tidak tahu diuntung, anak sialan, anak celaka, anak durhaka." Kata-kata ini yang sering menghujamku sebelum tidur. Sehingga masih sulit memaafkan Risma. Setiap malam air mata mengucur deras. Betapa tidak berbaktinya hamba terhadap kedua orang tua.
Apalah aku ini. Jangankan membuatkannya singgasana, berkunjung ke gubuk mereka saja bisa kuhitung jari. Kalaupun datang, di sana kami berdua disambut bak raja dan ratu yang mengunjungi rakyat jelata. Astagfirullah!
Beruntung sikap bijak dan penyayang dijunjung tinggi. Sehingga amat mudah memaafkan anak menantunya.
Sesampai di halaman rumah, masih agak petang. Ayah memandang pekarangan yang sangat luas. Mobil Alpard terparkir rapi di garasi yang sudah di lantai marmer krem. Di depannya rumput jepang tumbuh subur dikelilingi deretan pot tanaman bongsai tak berbunga di sisi kanan rumah. Sedang di sebelahnya, kolam ikan ukuran kecil serta air mancur, juga ayunan besi menambah indah tampilan.
"Bu, ayo masuk!" Risma meraih tangan ibu saat melewati tiga anak tangga menuju teras. Nafas ibu tersengal-sengal padahal hanya sekian meter. Ia duduk sejenak. Kususul dengan ayah. Sedang Risma masuk sendirian.
Sekitar lima belas menit, ia keluar membawa nampan berisi empat cangkir teh dan sepiring biskuit. Hatiku bergetar. Ada semburat bahagia di sana. Kulihat ia menunduk menyajikan satu persatu di atas meja. Dia tak menatapku, tapi kutahu ia sadar bahwa suaminya terkesima melihat perilaku terpujinya.
"Tidak usah repot-repot, nak!" ucap Ibu yang mulai stabil nafasnya.
"Tidak, bu! Ini kubawakan gula, siapa tau hambar." ia kembali ke dalam sambil memeluk baki yang mulai kosong.
"Yah, semalam kalian belum sempat menjawab bagaimana bisa datang kesini? Risma yang jemput?" tanyaku membuka percakapan.
"Iya, tapi dia tidak sendiri. Seorang supir -yang kira-kira seumuran kakakkmu Ivan- mengantarnya." jawab ayah yang memegang telinga cangkir yang siap diseruput.
"Oo, mungkin itu supir orang tuanya. Risma memang sering memanggilnya ketika ingin bepergian jauh, tapi aku tidak sempat mengantarnya. Tapi kenapa kalian mau ikut?" kataku.
"Kasihan toh, sudah jauh-jauh trus ditolak. Lagipula padi di kampung semua sudah kering. Jadi ibu ayah punya waktu luang." ucap ibu yang mulai melepas mukenahnya.
"Ibam, semalam kau pulang bersama siapa?" tanyanya penasaran.
"Teman kantorku, bu!" segera membuang muka agar tidak ditanyai lebih panjang. Tapi tetap saja tidak lolos.
"Hati-hati, nak. Jangan sampai ia terbawa perasaan nantinya." ibu mengingatkan.
"Maksud ibu? Anita?" tanyaku.
"Iya, tidak ada salahnya mengingatkanmu. Masuk sana. Sudah mulai terang. Awas terlambat ke kantor." aku lalu menghabiskan teh yang dibuat istriku kemudian masuk ke rumah untuk mandi dan berkemas.