ISTRI BOROS
Part 22
#istriborosJika pulang dan berkata jujur akan menambah masalah, maka tinggal di luar untuk lari dari kenyataan juga bukan solusi tepat. Justru akan berlarut-larut dan tidak akan ada jalan keluar. Bangkit dari rasa nyaman di bibir pantai lalu kembali ke rumah menemui Risma. Apapun yang terjadi setelahnya, sungguh sudah qodarullah.
Sesampainya di rumah, ada beberapa keluarga yang berkunjung untuk menemani istriku yang ditinggal kerja.
"Tante kemana?" kutanyai dua orang keponakan kembar yang duduk diayunan untuk bermain bersama. Hanya basa-basi karena jelas Risma ada di kamar. Mereka kompak menunjuk ke dalam. Juga ada yang bilang, "di kamarnya om!"
"Okedeh cantik! Om Ibam masuk dulu! O, yah, ada yang mau makan es buah?" tanyaku kembali sambil menyetarakan posisi kantongan es buah tadi dengan wajahku.
"Beli dimana, Om?" tanya Amira, anak sepupu Risma yang sedang asik menggoyangkan ayunan bersama adiknya.
"Tadi beli di perjalanan saat mau pulang ke sini. Mau?" ucapku lagi. Keduanya bersamaan menggelengkan kepala dan berkata, "gak ah, Om. Mama larang kami makan-makanan yang tidak ada labelnya. Katanya takut tidak bersih!" tanpa meyakinkan, kuturunkan es itu kembali.
Aku lupa kalau memang semua keluarga dari pihak mertua hampir sama semua. Makanya agak sulit menyesuaikan diri. Kulewati kakak sepupu yang sedang duduk di teras memainkan gadget sambil terus mengawasi anak-anaknya. Hanya kusapa, "Kak!" dan berlalu. Tidak mungkin kutawari es buah juga. Yang ada dia akan mengangkat hidungnya untuk menjawab tidak.
***
"Mas, sudah pulang?" tanya Risma ketika kubuka pintu kamar. Ia sedang terbaring seketika bangun untuk menyambut.
"Iya!" Jawabku singkat, tapi sebisa mungkin kuberikan senyum tulus walaupun tak berani menatap matanya. Lidah bisa berdusta, tapi mata terlalu jujur untuk menutupi. Bukan ingin berbohong, hanya saja tidak tahu harus memulai dari mana.
"Tumben tidak langsung mandi, Mas? Atau mau makan dulu?" ucap Risma kembali sembari merapikan bajunya lalu mengikat rambut lurusnya.
"Nanti saja!" balasku seraya meregangkan otot-otot di sebelah Risma. Ia terlihat sedikit curiga. Diperhatikannya secara detail gerak-gerikku yang tak biasa.
"Mas! Kau kenapa?" tanyanya lagi. Hanya kubalas senyum. Seketika nyaliku kembali menciut untuk berkata yang sebenarnya. Takut ia akan terluka karena ini.
"Mas!" panggilnya lagi. "Hadap sini. Bukannya kau tidak begitu suka ketika berbicara, tapi tidak diperhatikan? Kau ada masalah? Jawab, Mas!" imbunya. Risma memegang punggung tanganku.
"Tidak ada!" di mobil kukumpulkan keberanian, tapi justru melebur bersama rasa takut melukai.
"Kau berbohong. Sepuluh tahun bersama, aku tahu persis bagaimana suamiku. Tapi, kalau memang h⅜#belum mau cerita berarti istrimu ini tidaklah berhak mengetahui rahasia suaminya sendiri!" ia menjauh sekian senti ke pinggir kasur.
"Bukan begitu, sayang. Aku takut kau bersedih mendengar ini!" balasku mencoba membuatnya mengerti. Bahwa memang ada hal yang tidak bisa diungkapkan secara gamblang.
"Lalu kenapa kau masih menyembunyikan? Aku akan lebih kecewa kalau kau tak jujur seperti ini, Mas!" ucapnya berwajah masam.
Masih tidak berani menatap, kukatakan bahwa, "jabatanku turunkan!" tangan kukepal lalu memukul kasur berulang-ulang bergantian kepala setelahnya. Mentalku tidak sepenuhnya siap mendengar Risma mengeluh kembali.
"Maafkan aku. Laki-laki ini memang tidak bisa diandalkan. Bukannya menambah penghasilan, justru berkurang drastis. Manager juga memberi waktu hanya sampai besok. Kalau tidak, ia akan mencari pengganti" belum kuhentikan usaha menghakimi diri sendiri.
"Tidak apa-apa, Mas. Mungkin ini cara tuhan menghapus kesalahanku terdahulu. Merenggut sesuatu yang tidak pernah kusyukuri. Setidaknya, dengan cara begini, aku bisa belajar menghemat." Segera kupalingkan wajah ke hadapannya. Semburat bahagia memancar di wajahnya. Apa dia tidak salah ucap?
"Risma, gaji suamimu hanya hitungan jutaan. Yang dulu saja tidak bisa mencukupimu. Bagaimana nanti?" tanyaku berjalan menjauh.
"Akhir-akhir ini aku jarang bergaul dengan mereka yang bergaya hedonis sepertiku. Dan ternyata, bukan gajimu sedikit, tapi tuntutan hidupku yang terlalu tinggi. Buktinya selama menghabiskan waktu di rumah, uang sisa bulan lalu masih ada beberapa juta di dalam tas ku. Ternyata menuruti keinginan tidak akan ada habisnya, Mas!" Risma juga bangkit dari kasur dan mendekatiku. Kedua tangan mulusnya memeluk tubuhku dari belakang.
Kuangkat wajahku memperhatikan pantulan di cermin. Kutepuk pipi untuk meyakinkan bahwa mimpikah ini atau justru ragaku masih di tepi pantai menutup mata dan membayangkan hal serupa terjadi pada Rismaku? Tapi, terasa sakit. Ini nyata! Istriku tlah berubah. Inikah hikmah atas setiap kejadian yang menimpa kami beberapa waktu belakangan.
Tak apa kehilangan semua gaji, asal digantikan dengan istri yang setia mendampingi dan bisa menghargai. Sebab memakan sesuap nasi ditaburi garam akan terasa nikmat jika ditelan dengan rasa syukur. Daripada makanan mewah berharga jutaan, namun dibeli hanya untuk menyombongkan diri di hadapan khalayak.
Langit tak selamanya petang, esok mentari akan kembali dengan senyum terbaiknya. Memberi cahaya pada seisi semesta. Dan, ini yang terjadi pada kami. Kubalikkan badan untuk melihat Risma. Sorot matanya tajam penuh keyakinan.
"Kau serius?" tanyaku lagi. Ia meraih tanganku lalu dilekatkan ke dadanya.
"Rasakan detak jantung ini. Adakah aku sedang bercanda untuk hal serius? Jika masih enggan percaya, tatap istrimu ini, Mas. Lidah bisa berdusta, tapi tidak dengan mata. Aku sedang berusaha berdamai dengan takdir. Belajar menjadi pendampingmu di segala musim!" balasnya penuh percaya diri.
"Terima kasih banyak. Kupikir kau akan terluka karena ini. Tapi, justru kau menguatkanku saat tidak berdaya. Terima kasih, sayang!" tanganku menjejali bagian wajah Risma. Kubelai lembut.
"Doakan aku agar selalu istiqomah. Karena, mempertahankan tidak lebih mudah daripada memulai. Bimbing aku sepenuh hatimu dan jadikan wanita ini satu-satunya bidadari yang kau harap menjumpaimu di keabadian. Atas nama diriku sendiri, aku berjanji akan mendampingimu menapaki puncak kesuksesan kembali. Berbagi ketika diberi lebih, dan bersyukur meski harus hidup kekurangan." tambahnya. Kemudian memeluk tubuhku dengan erat.
"Tentu, sayang. Jadi besok aku bisa menghadap ke manager dan menerima tawarannya sebagai area SPV? Kau serius kan?" tanyaku seolah belum percaya. Risma mengangguk dan berkata, "Kita akan punya banyak waktu untuk bersama!"
"Terima kasih banyak!" ucapku.
Tidaklah seorang hamba diuji melainkan ada hikmah setelahnya.
***
Di pagi hari tidak ada lagi hal yang mengganjal di hati. Satu-satunya orang yang kukhawatirkan menerima dengan lapang dada. Kuinjakkan kaki di kantor -yang sebentar lagi akan kutinggalkan karena akan ditempatkan di distributor- untuk menemui Manager area.
"Permisi, Pak! Ucapku saat memasuki ruangannya. Ekspresiku tidak sehancur kemarin.
"Silakan, masuk pak Ibam. Bagaimana? Sudah ada keputusan?" tanyanya langsung.
Dengan penuh keyakinan kujawab, "iya, Pak. Insya Allah saya siap bekerja sebagai area SPV!"
"Selamat bekerja, Pak ibam!" balasnya sembari menjulurkan tangan untuk menjabatku.
"Jangan lupa, minggu depan diadakan meeting disini. Sampai jumpa kembali dan selamat bertugas!"