ISTRI BOROS PART 12

987 26 0
                                    

ISTRI BOROS
Part 12
#istriboros

Lama-lama begini, atasan bisa saja menurunkan jabatan. Tidak fokus, sering terlambat, dan cuti mendadak. Semua karena Risma. Parkiran kantor sudah berderetan mobil dan motor yang memenuhi halaman. Gedung enam belas lantai juga tak kalah ramainya.

"Pagi, Pak!" sapa satpam di lobby.

"Pagi!" kutepuk tangannya sembari tersenyum manis. Walaupun rasa jengkel masih mengepung hati.

"Tumben, Pak gak pernah ngopi di pos lagi?" sebelum kejadian ini, aku memang sering mampir sejenak menikmati segelas kopi hitam pekat setelah selesai lembur. Kecuali kalau melihat Anita berdiri sendiri menunggu angkot.

"Iya, lagi sibuk. Aku ke ruangan dulu yah, sudah telat." ia agak membungkukkan badan dan berkata "Siap, pak!"
Kutenteng tas hitam yang berisi laptop di sebelah kanan, sedang sebelahnya menekan angka delapan di lift. Ruanganku berada di sana.

Setelah pintunya terbuka, kulihat Anita sedang terburu-buru sambil menenteng rantang besi juga tas yang diselipkan diantara lengannya. Dia nyaris terlambat juga. Kupercepat langkah agar menyamakan posisi.

"Tumben telat?" dengan nafas tersengal-sengal, kuhampiri ia yang sedikit lagi sejajar denganku. Anita sedikit berserong agar wajahnya kelihatan, kemudian disambung dengan menyapu rambut yang menutupi telinganya.
kulit sawo matang, pipi dan bibir senada warna pink, dengan kemeja batik condong abu-abu, serta celana panjang yang menjuntai ke bawah menutupi bagian atas sepatu hak miliknya. Sangat anggun.

"Aku masuk dulu, yah! O ,iya. Jangan lupa berkas yang harus kutandatangani bawa saja ke ruanganku sebentar" ucapku ketika ia tlah sampai di meja kerja yang di atasnya terdapat sebuah komputer, rak pulpen, foto ukuran kecil dan tumpukan berkas.

"Siap, Pak! Sisa diangkut kok. Semua sudah beres. Hehehe." jawabnya sambil melepas tas yang masih menempel di badannya.

Ruang kerjanya cenderung terbuka. Hanya dibatasi sekat pemisah antara satu karyawan dengan lainnya. Beda dengan ruanganku yang tertutupi kaca keseluruhan. Jelas, jabatanku lebih tinggi darinya jadi ada tempat khusus yang disediakan kantor untukku. Pintu tepat di samping meja kerja Anita, jadi mau tidak mau  harus melintas lebih dulu di depannya.

Rindu juga suasana disini. Walaupun pikiran belum stabil. Sambil melihat ke atas, kusandarkan tubuh pada kursi hitam empuk lalu memutar-mutar ke ke arah berlawanan. Sesekali menggoyangkan pulpen hitam yang sedang kujepit di antara ibu jari dan telunjuk. Serta paha kanan kiri saling menindih. Sedikit membayangkan berat beban yang sedang ditanggung.

Terdengar suara ketukan pintu namun kuabaikan.
"Permisi, Pak!" suara perempuan dengan *krak* pintu beriringan. Ditambah bunyi sepatu yang semakin jelas terdengar.

"Pak!" lamunanku buyar. Pulpen terjatuh kemudian segera ku perbaiki posisiku. Kursi kutarik beberapa senti mendekati meja.

"Maaf, Pak. Tadi sudah permisi masuk, tapi bapak melamun. Hehehe." Kutatap senyum manisnya beberapa saat lalu kembali tunduk melihat tumpukan berkas dan pulpen yang disodorkan. Lagi-lagi hampir hanyut. Semarah-marahnya terhadap Risma, aku tetap suaminya.

Rumah tangga kami ibarat perahu kecil yang sedang menantang ombak samudra. Hanya keajaiban sang maha kuasa sebagai penentu bertahan tidaknya sampai ke pulau besar yang kami sebut kebahagiaan. Mengajak orang ketiga masuk di dalamnya, besar kemungkinan perahu karam sebelum tiba di tujuan. Dan satupun tak dapat keuntungan. Walau tak kunafikkan, gisik baik dan sisi burukku sedang bertempur di sanubari. Kulanjutkan perjalanan dengan Risma, ataukah mengantarnya kembali ke bibir pantai lalu menggantinya dengan Anita. Astagfirullah.

"Iya, tidak apa-apa. Kepalaku masih berat. Tadi mesti berangkat subuh-subuh dari kampung dan kembali kantor lagi. Makan pun tidak sempat" kubuka lembar demi lembar yang telah diberi pembatas agar memudahkanku bertanda tangan.

"Kalau tidak keberatan dan bapak mau seadanya, rantang yang tadi kutenteng berisi makanan bisa disantap bersama dengan teman-teman yang lain, Pak. Tapi, nanti setelah makan siang." Anita menjawab sambil merapikan berkas yang selesai.

"Ah, apa tidak merepotkan?" tanyaku.

"Tidak, pak. Hitung-hitung sedekah dengan teman-teman yang lain." perempuan idaman.

"Kalau begitu, bawa saja masuk ke sini. Di luar kurang luas untuk makan lesehan. Kalau di pantry terlalu ramai, bisa-bisa aku gak kebagian. Hehehe" Anita hanya tertawa mendengarnya.

                                               ***

"Permisi, Pak!" Anita, Faisal, dan Arman bergiliran melewati pintu.

"Gak papa makan di bawah saja, Pak?" Tanya Anita yang sedang membuka pengait di bagian atas rantangnya. Lalu menurunkan satu persatu bagian. Nasi yang sengaja dipenyet agar bisa muat banyak. Lauk ayam lengkuas, sambel  yang bersebelahan dengan tempe orek. Serta di bagian atas sup berisi bihun yang ditaburi potongan daun bawang dan seledri.

"Malah enak kalau begitu. Lebih mantap makannya tidak usah pakai sendok." ucapku.

"Wah. Sepakat, Pak!" celoteh Arman yang kemudian disikut  Faisal. Ia kemudian menutup mulutnya..

"Santai saja!" Arman lalu menjulurkan lidah ke arah Faisal. Anita hanya tertawa sambil menyiapkan makanan.

"Ayo Pak, mari makan!"

Kami berempat duduk melantai bergantian mengambil lauk dan juga nasi.

"Enaknya, Nit. Mau gak jadi istriku?" Ucap Faisal.
"Gak level!" balas Arman.

"Sudah. Sudah! Ayo buruan makan. Jangan lama-lama. Ingat, selesai ini kalian ditugaskan untuk menyurvei lokasi untuk cabang baru.

Mereka kemudian terburu-buru menyantap makanan lalu pamit duluan meninggalkan aku dan Anita berdua di ruangan. Jika tadi kukunyah dengan santai, sekarang berganti rasa canggung.

"Pak, kalau boleh tahu, apa bapak punya masalah dengan bu Risma?" aku tersedak mendengar pertanyaannya.

"Maaf, Pak!" Anita menyodorkan sebotol minuman di tumbler dan berkata "Tidak usah dijawab, Pak. Maaf lancang. Silakan lanjutkan makannya lagi!"

Sambal di piring sudah habis, saat ingin mengambil lagi di rantang, tanpa sengaja tanganku dan tangan Anita bersamaan meraih sendok membuat mata kami saling berpandangan.

"Pak, maaf! Ada nasi di dagu bapak" Anita membersihkan wajahku dengan tangannya.

"Mas!" suara perempuan sambil membuka pintu. Menjatuhkan kresek berisi satu dos berwarna kuning mirip dengan kemasan di warung sebelah. Tangannya spontan menutup mulut. Matanya terbelalak dan berkaca. 
"Kalian!"

"Tadi kami berempat! Tangan Anita menunjuk bekas makan Faisal dan Arman tadi. Tapi Risma tetap tidak percaya, kemudian keluar sambil mengusap air matanya.

"Kejar bu Risma, pak!" aku segera bangkit dengan menggebu lalu mencoba mengikuti istriku. Namun, ketika di ambang pintu, langkahku terhenti.

"Tidak usah!"  jawabku.

                                                 ***

Suasana rumah hening. Kupegang gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Masuk dan mendapati Risma sedang menangis di sofa.

"Mas, kutau kau sangat marah karena perlakuanku terhadap ibumu. Tapi, tolong jangan bawa perempuan lain ke dalam rumah tangga kita" ia tertunduk menopang kepala yang bertumpu pada bantal kecil di bawah sikunya.
Tak berani menatapku.

"Bukan urusanmu!" sambil berjalan masuk ke kamar.

"Tapi, Mas!" Risma menyingkirkan bantal di pahanya lalu berdiri.

"Tapi apa?" spontan tangan meraih guci hias yang kulewati lalu kulemparkan di dekatnya. Gerakan refleks Risma mengangkat kedua tangan lalu menutupi wajahnya agar tak terkena pecahan beling.

"Keterlaluan kau, Mas!" ia lalu duduk dan menangis menjerit-jerit.



ISTRI BOROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang