Kembali PoV Ibam
Masih seperti kemarin dulu, bedanya hari ini diselimuti kecemasan perihal umpatan Bian tadi pagi. Setelah semua urusan kantor selesai, aku bergegas pulang. Tidak ada drama singgah mengajak Anita pulang bersama apalagi makan berdua. Rasa penasaran tetang hal yang diperbuat Risma sangat mengganggu fokusku.
Kulaju kendaraanku secepat mungkin. Berharap di rumah bisa kutemukan jawaban dari mulutnya. Suasana jalan raya yang masih lumayan lenggang membuat tak banyak waktu terbuang percuma.
"Risma!" teriakku sambil menggedor pintu.
"Tunggu, Mas! Dijawab santai olehnya. Padahal emosiku sedang dipuncak. Kuterobos masuk ke ruang tengah kemudian menyuruhnya duduk di sofa depanku.
"Duduk kamu!" perintahku.
"Wah, tumben mas, Rindu?" masih sempatnya menggoda.
"Tidak usah basa-basi!"
"Apa yang kau katakan pada ibu? Kenapa Bian menelfonku kemudian berkata kita keterlaluan?" kupicingkan mata agar ia takut."Iyakah, Mas? Apa yang kukatakan. Cuma memeluk ibu di kamar lalu meminta maaf atas semua yang kuperbuat." kenapa firasatku semakin tidak baik.
"Tapi, kenapa dia bilang begitu. Jangan bohong kamu!" volume suara lebih rendah dari sebelumnya. Seolah terhasut dengan yang diucapkan Risma tadi.
"Mungkin maksudnya kita keterlaluan karena tidak mengabarinya saat ke rumah ibu kemarin. Kan sudah lama kita tidak bertemu dengannya, Mas. Terakhir waktu anak pertamanya lahir. Wah, aku jadi rindu dengan keponakan yang lucu itu. Kapan yah kita punya bayi?" dari gelagatnya seperti tidak ada yang dksembunyikan. Tapi, kenapa hatiku tidak tenang.
"Baiklah. Kalau begitu aku istirahat dulu. Minggu depan kita ke rumah ibu lagi." ucapku sebelum masuk ke kamar kami.
"Lain kali lagi, Mas. Jauh. Capek. Sekarang kan aku sedang program hamil." benar juga yang dikatakan. Setelah sepuluh tahun menikah, baru ia menyetujui untuk program hamil. Sebelumnya selalu menolak, dia bilang nanti sedikasihnya saja. Padahal kudengar ia sengaja karena takut tubuhnya menjadi buntal.
"Mas!" panggilnya lagi lalu kubalas dengan menggumam saja.
"Love u!"***
Di kamar utama yang didominasi warna pink, serta aneka barang berwarna putih; bupet, lemari, ranjang, gorden, dan masih banyak lagi isi ruangan ini. Sangat nyaman merebahkan tubuh sembari mengarahkan wajah mengahadap AC. Rumah ini berbanding terbalik dengan keadaanku dulu di kampung.
Risma kemudian datang dengan baju piyama berbahan sutra yang warnanya merah darah. Seksi sekali. Membuat jantungku kembali berdebar seperti saat malam pertama dulu.
"Mas, apa kau mencintaiku?" dia duduk di meja rias sambil menyisir rambut lurusnya. Ditemani lampu kian benderang menambah cantik parasnya.
"Kenapa kau bertanya begitu?" jawaban yang kuberi justru sebuah pertanyaan kembali.
"Andai kau disuruh memilih, aku atau ibumu? Kau memilih siapa?" lagi-lagi dibalas pertanyaan.
"Kau mikikku, sedang aku tetap bertanggung jawab atas kedua orang tua. Jadi aku berharap kau bisa membantuku berbakti pada mereka. Tapi, tentu bukan hal wajar yang kau tanyakan ini. Kalau bisa keduanya, kenapa harus memilih salah satu."
"Mas, aku bahagia memiliki orang tua seperti ibu. Kemarin dia memelukku erat. Katanya terima kasih karena aku sudah menerimanya." kudatangi Risma yang masih bersolek, lalu membungkukkan tubuh dan memeluknya.
"Terima kasih. Semoga rumah tangga kita selamanya bahagia tanpa ada yang terluka" dia kemudian berbalik arah dan berdiri menyamakan posisi.
"Aku yang berterima kasih, Mas. Selama ini aku kurang bersyukur. Padahal di luar sana banyak sekali perempuan yang menginginkan lelaki mapan sepertimu. Maaf yah, mas?"
"Mas, kau ingat dulu ibuku tidak merestui kita pada awalnya, tapi mendengar janjimu dan usahamu yang luar biasa, akhirnya dia merestui kita. Esok atau lusa kau marah besar, ingat yah bagaimana rumah tangga kita dibangun susah payah" suasana kian syahdu.
"Jangan tinggalkan aku yah, mas?" ucapnya sembari mencium pipiku."Asal kau berjanji akan berubah menjadi lebih baik lagi!" Saat ingin kubalas ciumannya, di teras rumah terdengar suara pintu didobrak-dobrak.
"Risma! Keluar kau" mendengar itu, istriku ketakutan dan bersembunyi di belakangku. Kubuka pintu dengan rasa khawatir.
"Bian? Kenapa tiba-tiba datang malam begini?" kaget melihat adikku tiba-tiba berdiri di depan pintu.
"Diam kau!" balasnya kemudian menghantam pipiku.
"Kau kenapa?"
-----------------------