ISTRI BOROS
Part 6
#istriborosSudah hari kedua mood ku dirusak oleh Risma, istriku. Sulit rasanya berkonsentrasi saat hati tidak stabil.
"Pak Ibam, ada masalah apa? Kuperhatikan sejak kemarin bapak lebih banyak diam?" tanya Anita menjelang jam pulang kantor.
"Bukan sesuatu yang penting. Hehehe" tidak mungkin aku menceritakan masalah rumah tangga pada orang lain. Ini persoalanku dengan Risma.
"O, begitu yah, Pak." raut kecewa nampak di wajahnya.
"Tumben tidak bawa bekal?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Pak. Tadi pagi telat bangub, jadi tidak sempat membuat makanan." kesempatan untuk mengajaknya ke warung sebelah.
"Kebetulan, aku juga belum makan. Kamu mau tidak ikut denganku? Sekalian kita pulang bareng lagi" hampir lima menit ia berpikir baru kemudian mengiyakan.
"Tapi, apa tidak jadi fitnah, pak?" Kelihatannya ia masih ragu-ragu.
"Mau fitnah bagaimana? Kita kan cuma makan bersama." Selama satu jam duduk berdua di warung makan, banyak kelebihan Anita yang lagi-lagi tak kidapat dari istriku. Caranya memesan makanan sangat sopan, adab berdoa sebelum menyantap, tidak berbicara saat mengunyah, dan masih banyak lagi. Aku berhenti memperhatikan. Takut perasaanku larut dan justeu berakibat melukai Risma nantinya. Tapi, sampai kapan aku bertahan, takdirlah yang penentu.
***
Ini hari kedua juga Risma ada di rumah lebih dulu daripada jadwal pulangku. Tidak sia-sia memarahinya ternyata. Andai kutahu begitu, sejak dulu kulakukan hal yang sama.
"Mas, kau masih marah? Ini uang untuk Ibu dan Ayah. Aku ikhlas, Mas" keajaiban apalagi ini. Semoga bukan harapan palsu semata.
"Kau serius?" Tanyaku tak percaya.
"Iya, Mas. Tapi, uangnya tidak usah ditransfer yah. Besok hari minggu, kita antar saja uangnya langsung" apa telingaku tak salah dengar? Kalau dulu kupaksa-paksa, sekarang menawarkan diri. Mungkinkah lagi-lagi ingin mengelabuhi agar marahku meredam?
"Mas, sini tas mu kubawa ke kamar. Kau duduk santai dulu disini, sekalian kubuatkan teh." rada parno sebenarnya. Seperti kisah perempuan berkepribadian ganda, tapi masak baru dua hari.
Setelah membawa secangkir teh panas, ia mengangkat kedua kakiku ke atas sofa. Dipijatnya bak raja yang sedang bertahta di singgasana. Dilayani oleh dayang-dayang. Persis mimpiku semasa kecil.
***
Pukul empat dini hari, sebelum adzan subuh berkumandang seperti ada yang mengguncangkan tubuhku. Sedikit demi sedikit menyusul bisikan lembut dari telingaku, seruan agar segera bangun.
"Mas, ayo prepare ke mesjid, setelah itu kita berangkat ke kampungmu. Agar bisa dapat matahari terbit di jalan" Mata yang masih tertutup seketika terbuka. Rismaku perlahan tapi pasti mulai menunjukkan baktinya sebagai perempuan yang kuidamkan.
Tak sepatah kata keluar dari mulutku, hanya menyingkirkan selimut yang masih menghangatkan tubuh dan segera beranjak mengambil air wudhu.
Ada kepuasn tersendiri dalam hati. Serasa aku telah berhasil mendidik seorang istri yang bisa dibilang durhaka itu. Walaupun belum seratus persen berubah. Tapi, tidak ada salahnya memberinya kesempatan.Sepulang dari mesjid, ia membereskan segala perlengkapan mudik, termasuk oleh-oleh yang dipesan khusus dari seorang teman. Betapa bahagianya ibu melihat menantu kualatnya itu berubah drastis.
"Mas, ayo berangkat sekarang, aku sudah membeli kue yang cocok untuk dimakan Ibu ayah. No sugar di dalamnya. Hanya memakai pemanis asli dari buah. Pasti mereka suka" Wajahnya begitu bersemangat menunjukkan kue di dalam dus panjang."Terima kasih!" balasku singkat.
Kurang lebih dua jam perjalanan kami tiba dikediaman orang tuaku. Tahun ketiga baru kembali kuinjakkan kaki disini. Beberapa pohon sudah ditebang dan pagarnya juga di cat rapi. Nyaris tak kukenali rumah sendiri.
Kulihat ibu sedang menjemur padi di halaman lalu seketika kukagetkan dengan bunyi klakson mobilku. Ekspresinya lucu sekali.Segera kuberlali lalu memeluk tubuh rentanya yang sangat kurindukan.
"Kenapa tidak bilang-bilang kalau mau datang, nak? Kan ibu bisa menyiapkan makanan dulu. Bahagianya melihatmu datang tiba-tiba." Begitulah orang tua, bukan buah tangan yang dinanti, tapi dikunjungi oleh anak mantunya saja sudah kelewat bahagia.
"Ibu :)" disusul Risma yang turun dengan menenteng plastik bening berisikan lima dus kue lalu menjabat tangan ibu dan memeluknya.
"Risma, ayo nak masuk dulu. Maaf ibu bau belum mandi" ibuku tahu persis watak menantunya. Pernah sekali Risma dirangkul ibu, kemudian ia meghindar. Bau matahari katanya. Tapi pagi ini, ia yang lebih dulu memeluk perempuan yang sangat kucinta.
Setelah bersenda gurau bersama dan menyantap masakan yang dibuat buru-buru oleh ibu, kami berpamitan pulang. Tidak lupa uang diamplop yang dipegang Risma diserahkan pada Ibu. Namun herannya ia tidak mau memberikan di depanku. Justru mengajak ibu masuk ke kamar.
"Ayo uangnya berikan pada ibu." kukirimkan pesan singkat padanyam padahal kami duduk berdekatan. Tidak enak kalau didengar yang lain
"Jangan disini. Aku ingin berdua saja dengan ibu di dalam. Kau keluar dulu. Tunggu aku di depan." balasnya. Entah mengapa ia tidak ingin ada yang melihat. Sedang kutahu Risma tipekal orang yang suka memamerkan kebaikan yang dibua, kalau ada.
"Ibu, aku ingin memberitahu sesuatu, tapi tidak disini. Ayo kita masuk ke dalam!" ucap Risma membujuk ibu yang lalu dibalas anggukan oleh ibu.
Sekitar lima belas menit aku menunggu di teras rumah bersama ayah, tak lama setelah itu Risma keluar dengan wajah yang bahagia, tapi tidak kulihat ada ibu yang menyusul.
"Ibu mana?" tanyaku
"Di kamarnya, Mas"
"Kenapa tidak keluar?" ucapku kembali.
"Dia menangis terharu setelah kuberi uang." alhamdulillah dalam hatiku.
"Ayo, Mas kita pulang. Sudah mau gelap" Risma menarik tanganku untuk masuk ke mobil tapi tidak mungkin pergi tanpa berpamitan pada Ibu.
"Mas, ayo. Tidak usah tunggu Ibu, tadi kan sebelum masuk kamar, kita sudah pamitan." tuturnya memaksa.
"Tunggu sebentar Ayah panggilkan!" tubuh yang dulu kekar itu masuk ke dalam rumah dengan langkah tergopoh lalu kembali keluar dan berkata "Kata ibumu, kau pulang saja, nak. Terima kasih katanya. Dia sedang di kamar mandi. Pulanglah sudah hampir malam juga. Rumah kalian jauh. Bahaya kalau berdua sampai larut malam" karena dipaksa oleh ayah, akhirnya aku dan Risma berpamitan pulang.
***
Senin ke minggu lama sekali, tapi minggu ke senin cepat berlalu. Berarti waktunya kembali beraktivitas dengan dokumen-dokumen kantor yang menjemukan, beruntung ada Anita yang jadi penetral.
Diperjalanan, adikku Bian menelfon.
"Mas, kau dan istrimu keterlaluan!" hanya itu ucapnya dibalik telepon lalu dimatikan. Saat ingin kuhubungi kembali, nomornya sudah tidak aktif. Apa ada hubungannya dengan sikap ibu yang kemarin?
"RISMAAAAAAAAAAAAAAAA!" kalau benar ini karena ulahnya lagi, aku benar-benar tidak memaafkan.
-----------------------------
Mau PoV siapa????.