ISTRI BOROS PART 13

926 21 0
                                    

ISTRI BOROS
Part 13
#istriboros

Masih seperti biasa, setelah shalat subuh menyiapkan perlengkapan sendiri sebelum berangkat. Para asisten kukabari agar jangan dulu datang. Yang membedakan, dua iris roti yang telah dipanggang dan segelas teh hangat. Roman-romannya Risma mulai berubah, tapi masih sulit kembali percaya setelah berkali-kali dikelabuhi.

Kulihat sekeliling meja makan tidak ada orang, tangan memegang roti kemudian diambil setengah, minum seteguk lalu kembali menenteng tas laptop keluar rumah.

"Terima kasih!" kudengar suara Risma yang entah dari mana asalnya. Rumah ini terlalu luas. Bukan berharap, tapi jika ada pencuri masuk, ia pasti akan kewalahan menembus sekat persekat.

Langkah terhenti sejenak kemudian kugoyang-goyangkan pangkal dasi agar tidak terkesan keki.

                                            ***

Setiba di kantor, suasana masih sunyi. Halaman juga lumayan lenggang. Saat ingin memarkirkan kendaraan, sebuah mobil lama sekali mencari posisi. Dari caranya, sepertinya dia perempuan. Daripada buang waktu, kuambil tindakan untuk menawarkan bantuan. Kulihat di kaca mobil, "Anita!"

"Iya, pak. Hahaha. Saking jarangnya pegang setir,  aku sampai kewalahan cara untuk memundurkan mobil ini.!"
Ia tertawa menatap ke arahku yang berdiri di samping.

"Turun dulu, biar kubantu!" ucapku seraya menyingkir sedikit agar pintu mobilnya bisa terbuka dan Anita turun.

"Maaf, pak merepotkan!" balasnya saat kendaraan kami sudah tersusur rapi berdempetan.

"Tumben bawa mobil sendiri?" Anita mendekati untuk menjawab.

"Semalam nonton berita kalau supir angkot hari ini mogok kerja, Pak."

"Oo begitu." singkat jawabku. Sembari trus berjalan ke lobby kantor.

"Pak, sebentar sore ada waktu tidak?" tambahnya.

"Kenapa memang?" kulihat Anita kurang mahir berbasa-basi. Ia tampak canggung memberi jawaban.

"Tidak, pak. Gak jadi." ia tersipu malu-malu. Tertunduk sedikit sampai rambut yang tadi disimpan di belakang berlomba-lomba ke depan menutupi wajah.

"Apa?" Tanyaku kembali.
"Jawab saja. Mau minta tolong?"

"Iya, pak. Tapi tidak enak. Mau ke toko buku langganan bapak, tapi judul-judul buku yang direkomendasikan dulu kelupaan, pak. Tapi, kalau tidak bisa, yah tidak jadi masalah.

"Oo, itu. Pulang kantor sebentar kita mampir ke sana. Tapi, jangan lama yah" ucapku. Ternyata rasa kasihan terhadap Risma masih tersisa.

"Baik, pak!"

                                               ***
Toko buku yang terletak di dalam pusat perbelanjaan atau biasa orang sebut mall. Risma senang sekali ke sini. Betis kadang keram mengikutinya berkeliling-keliling tanpa henti. Sekali masuk, bisa dihabiskan lima juta hanya untuk membeli barang yang stoknya sebenarnya masih banyak di rumah. Tapi, begitulah dia.

Kali ini, bukan dengan Risma melainkan Anita yang berdiri di sebelahku. Mengenakan rok mini selutut dengan baju kemeja yang agak sedikit gombrang. Jika Risma berkeliling untuk mencari lipstik, Anita mengajakku mencari buku.

"Ayo ke sebelah sana!"kutunjukkan rak buku khusus ilmu-ilmu perkantoran. Bagaimana cara menjadi pekerja yang baik serta inovatif.

"Judulnya apa, pak?"

"Totalitas tanpa batas!" balasku. Mata trus mencari-cari letaknya. Sebuah komputer yang disediakan untuk memudahkan pengunjung mencari letak buku, ternyata stok habis.

"Sepertinya buku yang bapak bilang sudah habis. Yah, gimana dong?" ucapnya sedikit mendayu.

"Ambil itu saja. Coba baca sinonpsis di belakangnya!" kuraih sebuah buku lalu menyodorkannya pada Anita.

"Yang ini, pak?"  tanyanya.

"Ia itu saja. Isinya hampir sama. Ayo pulang. Sudah malam ini." gelisah juga berlama-lama di tempat umur berdua dengan orang yang bukan mahram.

"Astaga, pak. Aku lupa bawa dompet." sebelum ke kasir ia sempat mengintip ke dalam tas, tapi katanya ia tidak membawa uang. Terpaksa aku yang harus bayar. Anita ini. Ingin membeli buku, tapi ceroboh juga tidak membawa uang. Atau dikiranya gajiku yang banyak selalu kusimpan rapi di dompet. Kuberikan kartu kredit punyaku dengan nomor pin yang belum sempat kuganti. Memudahkannya untuk menghapal.

"Kau pakai ini saja. Masih ada isinya. Aku mau singgah ke toilet dulu. Kalau sudah selesai, tunggu di parkiran saja".

"Terima kasih banyak, pak. Maaf banyak merepotkanmu hari ini.! Ia tersenyum manis di depan meja kasir.

"Sama-sama!" balasku singkat.

Hampir dua jam waktu dihabiskan di dalam mall. Aku dan Anita berpisah di parkiran.

"Aku duluan, yah!" sambil melambaikan tangan ke arah Anita.

"Terima kasih banyak, pak!" Anita menghadapkan wajah ke bawah dan agak condong ke depan.

                                             ***

"Mas kenapa baru pulang? Aku mual-mual seharian" kalimat pertama yang diucapkan Risma ketika membuka pintu lalu mengunci kembali.

"Mas!" suaranya lemah memanggil sambil trus membuntuti.
Secara mendadak pintu ada yang mengetuk. Risma berbalik arah untuk melihat.

"Kamu? Mau apa kesini? Sudah malam. Bukan waktu yang tepat untuk bertamu." sambutnya kesal.

"Mau mengembalikan ini pada pak Ibam. Tadi lupa kukembalikan" astaga itu suara Anita. Aku menyusul Risma. Kulihat Anita menyodorkan kartu kredit yang kuberi tadi di toko buku.

"Kenapa tidak tunggu besok saja?" ucapku.

"Takut hilang, pak!" jawabnya sambil tersenyum. Sedangkan Risma terlihat begitu terpukul. Nafasnya berkali-kali ditarik dalam-dalam.
"Kan ini sudah ada di tanganku. Silakan pulang!" tanpa menunggu Anita pamit, ia langsung menutup kembali pintu.

"Mas, apa maksudnya ini?" Air matanya tumpah seketika.
"Jawab, mas? Kalau sampai ibu dan keluargaku tahu bahwa kau bermain hati dengan perempuan lain, mau ditaruh dimana wajahku ini?"
"Mas!" Risma bersimpuh di kakiku. Dadaku terasa penuh karena iba. Tapi, pikiranku terus-terusan menghakimi bahwa Risma yang paling bersalah atas peristiwa ini.

"Kau selalu saja memikirkan perasaan keluargamu. Tapi, coba ingat selama sepuluh tahun kita menikah. Sekalipun orang tuaku tak pernah kau anggap ada, Risma! Bahkan aku yang telah menjadi kepala keluarga, tidak pernah kau hargai. Kau melakukan semaumu. Setiap kunasehati, bukannya berubah justru semakin menjadi-jadi. Aku bisa saja sabar saat kau uji, tapi kau keliru jika menganggap perilakumu terhadap ibuku akan mudah kumaafkan" bibirku bergetar sambil menatap lampu agar tak ada tangis menetes.

"Maafkan aku, mas! Beri aku kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan baktiku sebagai seorang istri. Aku sangat menyesal dan berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi. Demi anak yang sedang kukandung ini." ia mengencangkan pelukan di kakiku.  Tersedu-sedu meminta diberi kesempatan sekali lagi.

"Entah berapa banyak waktu lagi yang kubutuhkan untuk bisa kembali percaya padamu." kulepaskan dekapannya dengan lembut lalu berjalan ke kamar.

"Mas! Maafkaan akuuuu!" Ia tersungkur di lantai sambil terus terisak. Sesal mendalam begitu nampak di wajahnya.

Barulah setibanya di dalam ruangan terpisah, kucurahkan segala kelu kesahku pada sang maha pencipta. Rumah tanggaku sedang di ambang kehancuran. Aku bersimpuh di atas sajadah panjang mahar yang dulu keberi pada Risma dengan rasa yang menggebu.

ISTRI BOROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang