ISTRI BOROS PART 17

1K 33 4
                                    

Setelah mobil yang mengantar ibu ayah pulang, aku juga berpamitan kepada mertua dan Risma, walaupun agak canggung.

"Mah, ayah, Ibam ke kantor dulu, yah!" ucapku samb mencium tangan keduanya secara bergilir. Setiba di dekat Risma, matanya di fokuskan pada benda-benda sekitar.

Kuulurkan tangan padanya agar mama dan ayah tidak curiga pada kami, disambut juga meski masih sulit bertemu pandang.

"Yang rajin kerjanya. Dunia perkantoran itu persaingannya sangat ketat. Apalagi kamu terbilang karyawan yang jenjang karirnya melejit pesat. Coba lihat jabatan yang sama denganmu, rata-rata lebih tua." ucap mama mertua sembari melipat tangan yang hanya dihiasi satu cincin berlian. Walaupun punya banyak, beliau tidak suka berlebihan memakai perhiasan. Ia berjilbab, meski belum menutupi dada. Lebih sering dikaitkan ke belakang. Mama juga senang memakai  blush dipadankan dengan jeans. Dilihat sekilas, seperti adik kakak dengan anak-anaknya.

"Hati-hati, nak!" Ayah tersenyum lebar. Matanya agak sipit, kulit putih. Rambutnya mulai memutih. Ayah memakai kaos berkerah dengan celana pendek di bawah lutut dan depatu kets kekinian.

"Siap, ayah!"

                                              ***

Mentari mulai condong ke barat. Kendaraan pun semakin padat memenuhi jalanan kota. Menunggu lampu hijau juga memakan waktu. Karena, para pengendara belum sepenuhnya berlalu, lampu merah menyala lagi. Saking ramainya. Sampai-sampai tiga kali berganti, barulah aku bisa lolos.

Setelah berhasil, jalanan mulai lengang. Dari kejauhan seorang perempuan melambaikan tangan ke arah mobilku.
Dari jenis pakaiannya, dia Anita. Kutepikan kendaraan sejenak. Sambil menenteng tas dan juga rantangnya lagi, ia mengetuk kaca jendela lalu berkata, "beruntung bapak lewat. Aku boleh ikut?" belum kupersilakan ia sudah membuka pintu lebih dulu.

"Maaf, pak. Sejak tadi angkot tidak ada yang melintas. Sampai keringatan menunggu di pinggir jalan!" ia menyimpan rantang di dekat kaki dan memangku tasnya, lalu mengambil tissu di laci. Menepuk pelan bulir keringat di wajahnya, agar tidak mengenai riasan yang memang tipis itu.

"Bukannya jenis angkot yang berhenti itu yang sering kau tumpangi?" tanganku memacu setir sambil mengangkat telunjuk ke arah angkutan umum biru yang berhenti mengambil penumpang.

"Astaga, kok aku gak liat dia lewat yah. Mungkin waktu tunduk sebentar membersihakan celanaku ini! Beruntung bapak lewat, kalau tidak, bisa terlambat ke kantor." ucapnya.

"Mobilmu mana?" tanyaku.

"Orang tua bapak masih disini?" tanya Anita yang sibuk memandangiku. Mengalihkan pembicaraan.

"Baru saja pulang. Diantar supir mertuaku." jawabku.

"Kenapa tidak bilang, pak. Tahu begitu kemarin kutitipkan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke kampung." lanjut Anita.

"Tidak perlu repot-repot!" balasku.

"Pak, hari ini aku masak menu lain. Telur balado, sayur nangka dengan sambel terasi." ia menunjuk rantang di dekat kakinya. "Nanti kita makan bareng lagi yah, pak! Pasti di rumah bapak jarang menyantap menu rumahan.  Apalagi bu Risma mungkin tidak tahu masak. Secara, ia terbiasa hidup dilayani. Tega yah dia. Harusnya bisa menyesuaikan diri saat masih gadis dengan bersuami." bibirnya sedikit dimonyongkan, lalu menghempaskan tubuh ke jok mobil.

"Ah, siapa bilang!" bantahku.

"Tidak usah bohong, pak. Buktinya setiap makan bekal dari rumahku, bapak sangat lahap. Juga sering bilang bahwa sangat jarang makan seperti itu." ucap Anita kembali.

"Aku memang hobby masak, pak. Suka bersih-bersih rumah. Walaupun capek bekerja, sepulang kantor tetap melaksanakan kodratku sebagai seorang perempuan. Mungkin kalau berkeluarga nanti, suamiku tidak kurepotkan. Orang-orang selalu bilang bahwa yang jadi jodohku nanti paling beruntung dapat istri seperti saya, pak"  timpalnya seolah promosi barang dagangan

"Makanya buruan nikah. Nanti jadi perawan tua loh!"
Balasku merespon.

"Hahaha Ahh, bapak, ada-ada saja!" Anita mendorong lenganku.

Kupercepat laju mobil agar bisa sampai di kantor lebih awal.

                                               ***

Di rumah, secarik kertas pink menempel di pintu.
"Aku nginap di rumah orang tuaku. Mas pakai kunci serep saja. Kalau tidak salah, ada di tas kerjamu. Risma."

Segera kugeleda tas lalu mencari-cari di setiap sisi mana tau terselip. Keadaan rumah sangat bersih, begitu juga kamar yang kutempati. Saat ingin beristirahat membuka baju kerja dan mengambil handuknyang tergantung di belakang pintu, kali ini bukan lagi secarik kertas.
Ukurannya lebih besar, tapi sama-sama ada tulisannya.

"Mas, kalau sudah mandi dan shalat, kau ke dapur yah! Tadi, sisa tahu tempe bacem yang kubuat bersama ibu kemarin,  rencananya mau kugoreng untukmu. Hanya saja, minyaknya meletup-letup. Mungkin karena sisa bunga es dari freezer menempel jadi berair pas kugoreng. Terpaksa kumatikan kompor dan membiarkan tahu tempe itu di atas wajan yang penuh minyak. Mama sudah melarang, tapi aku bersikeras.   Kusuruh ia melanjutkan, tapi juga tidak bisa. Maaf! Tapi, ada nasi di ricecooker. Coba lihat teksturnya. Kalau tidak suka, beli saja, Mas. Sekali lagi, maaf! Aku ke rumah orang tuaku untuk belajar masak dengan bibi yang sejak kecil tinggal di rumah. Besok setelah shalat subuh, aku sudah kembali. Satu lagi, Mas, jangan tancapkan kunci di pintu, biar besok aku bisa membukanya sendiri tanpa mengganggumu. Risma :)"

Dadaku serasa penuh sesak. Kututupi wajahku dengan kertas tulisan Risma yang mulai basah terkena air mata.
Istriku tengah mengandung. Seharusnya kami menikmati kebahagiaan itu, tapi nyatanya tidak. Kami seperti di dimensi berbeda. Risma sudah berusaha semaksimal mungkin,  sedang aku mulai takjub, tapi terlalu gengsi untuk mengakui. Salut dengan perubahannya, walaupun kini terkadang rindu sikap bermanja-manjanya, meminta diambilkan barang meski dia sendiri sanggup melakukannya, juga saat menuntutku membeli sesuatu yang harganya tidak masuk akal. Tapi sekarang, jangankan meminta tolong, untuk menelpon memberi kabar juga tidak mau. Tidak kutuntut ia jadi sempurna. Hanya ingin Risma bersyukur pada setiap hal yang kuberi, juga bisa menghormati kedua orang tuaku. Itu saja. Soal iri dengan rekan kerja yang sering diberi bekal oleh istrinya, tidak masalah. Kekurangan Risma yang itu masih bisa ditoleransi.

Kutinggalkan handuk yang bersiap untuk menggelung di tubuh lalu berlari ke dapur membuktikan isi surat itu. Dan benar saja, tahu tempe yang mulai kecoklatan pinggirnya, berenang-renang di lautan minyak. Air mata keluar bersamaan dengan gelak tawa yang tak tertahankan.

                                              ***

Karena terlambat bangun, aku melewatkan kesempatan shalat berjamaah di mesjid, jadi di rumah saja sendiri. Mandi dan berpakaian pun hanya beberapa waktu. Tidak ada apapun yang kulihat di dalam rumah. Padahal, di surat itu ia tulis ingin pulang sebelum pagi. Rasa kecewa menghinggapi. Apa aku sudah mulai memaafkannya? Kenapa ada yang kurang hari ini.

Kuambil kunci mobil di atas lemari guci, yang di sampingnya jam kayu besar dan mewah bertengger. Sudah pukul tujuh rupanya. Dengan perasaan kurang semangat, aku berjalan keluar rumah menuju mobil.

Ketika kubuka pintu, di sebelah kiriku ada sebuah rantang bersusun tiga. Juga lagi-lagi pesan yang ditulis di atas kertas. "Mas, kalau kau baca ini, aku sudah di dalam kamar. Maaf tidak menyiapkan pakaianmu. Kepalaku pusing juga agak mual. Perut sedikit keram, tapi tidak usah khawatir. Aku hanya butuh istirahat. Di dalam rantang ini, bukan aku sepenuhnya yang buat, tapi dibantu bibi sebelum shalat subuh tadi. Maaf :)".

"Terima kasih, sayang!" ucapku sambil mencium kertas pink itu. Ingin masuk menemuinya, tapi malu rasanya.


ISTRI BOROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang