ISTRI BOROS
Part 10
#istriborosEpisode : Bangkai, sejauh apapun disembunyi pasti tercium juga
Kami melangkahkan kaki keluar rumah sakit dengan tangan bergadengan. Sesekali Risma merapatakan kepala ke pundakku.
"Sayang, akhirnya aku hamil!" senyum sumringah dari di bibir tipis berwarna merah darah sambil trus berjalan menuju mobil.
"Iya. Alhamdulillah!" seharusnya ekspresiku lebih exited daripada ini. Tapi, malah biasa saja. Wajahku datar dengan tatapan kosong. Berjalan hingga menuju mobil yang terparkir rapi di halaman rumah sakit.
"Mas, kita mau kemana. Bukannya jalan pulang ke rumah itu mesti belok kanan? Atau kau mau mengurus sesuatu?"
"Mas, jawab!" kening Risma mulai mengkerut. Tangannya mendorong2 lenganku agar segera angkat suara."Kita ke rumah ibu sekarang!" Matanya tetiba terbelalak. Tubuhnya sedikit maju ke depan agar melihatku lebih jelas.
"Mas, aku ini sedang hamil. Jalanan ke sana itu jelek. Apa kamu tidak kasihan?" ucapnya.
"Nanti aku menyetirnya pelan saja kalau sudah di daerah yang rusak aspalnya!" sesekali menatap matanya lalu kembali fokus mengemudi.
"Aku tidak mau!" nada suaranya meningkat. Pandanganku tetap lurus ke depan.
"Mas, kau tidak sayang calon anakmu?" tanyanya lagi."Sayang." jawabku singkat.
"Mas, kalau kau tidak putar arah, aku lomoat dari sini." tangan kirinya mulai membuka kunci, untung tanganku lebih lihai sekian detik untuk mengunci otomatis setiap pintu mobil.
"Mas! Berhenti!" masih berusaha membuka, tapi tidak bisa yang berujung ia memukul-mukul benda di sekitarnya." beberapa hari tak kudengar lengkingan suaranya, hari ini kumat lagi. Padahal belakangan ini dia berusaha jadi istri yang cukup baik.
"Mas!" telinga seperti berdengung mendengarkan teriakannya sejak tadi. Jendela tertutup rapat dan musik sengaja ku kencangkan agar tidak ada jalan suara Risma di dengar orang-orang saat melintas. Apalagi lajuku terbilang pelan.
"Berhenti!"
"Mas!""Kamu itu kenapa sebenarnya? Kita hanya ingin ke rumah orang tuaku untuk memperjelas semuanya. Lagipula kalau kau tidak punya salah tidak usah ngotot begitu. Soal bayi di perutmu. Dia juga anakku. Tentu tidak mungkin membiarkannya kenapa-kenapa. Jadi kamu tenanglah sedikit" kupukul setir mobil dengan kencang sampai klakson berbunyi tak kusadari. Ia kembali bersandar pada jok dan menatap ke depan kembali.
"Nah, kalau begini kan aman. Kasian anak di perutmu kalau kau emosi begitu. Kukira kau sudah sabar, ternyata masih Risma yang dulu." seperti berbisik, tapi sampai di telinganya.
"Apa kau bilang, mas?" kembali maju sekian senti untuk menatapku tajam.
"Kamu cantik!" ucapku. Hanya dibalas menggumam olehnya.
Jika hari biasa hanya dua jam perjalanan, kali ini memakan waktu empat jam. Risma sempat tertidur di mobil jadi aku bisa lebih tenang mengemudi. Saat sisa satu kilo jarak dari rumahku, ia terbangun. Menatap sekeliling banyak rumah panggung serta deretan sawah hijau ditemani sinar senja di sore hari, ia pasti menyadari bahwa sebentar lagi kami tiba di tujuan. Kukerlingkan mata sekali-kali, ia tampak grasak grusuk tidak jelas. Seperti cacing kepanasan. Ia gelisah. Mungkin mual. Tapi tak ada tanda-tanda itu.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Gerah, Mas!" AC ku setel full, cuaca disekitar juga amat sejuk. Sedang ia sibuk mengkibas-kibaskan tangan untuk mencari angin.
"Kan dingin disini" jawabku
"Pengaruh hamil mungkin, Mas!" kukerutkan kening, lalu mengabaikan ucapannya. Tadi malam dia bilang sering kedinginan, sekarang kepanasan karena hamil katanya. Berlebihan!