Sudah waktunya istirahat, tapi riuh cacing meminta makan dalam perutku mengganggu proses menuju alam mimpi. Bisa kumaklumi, seharian hanya menyantap semangkuk bubur buatan Anita. Apa yang bisa kumakan? Di jam segini warteg-warteg tak ada yang buka. Sementara lidahku hanya cocok makanan rumahan. Para asisten terlanjur kuberi cuti.
"Kau lapar?" Tanya Risma. Sikapnya meluluh setelah perdebatan pagi tadi.
"Tunggu sebentar yah, Mas!" ia mencium pipiku dan pergi ke arah dapur. Apa yang akan dilakukan belum terlintas dibenakku. Mungkin salah satu upayanya mencari perhatian karena selama ini tak pernah melihatku semarah itu. Hampir satu jam kudengar suara alat dapur mengeluarkan bunyi khas masing-masing berganti dengan teriakan "Aw" berkali-kali. Sepertinya ia sedang menggoreng telur.
Rasa ingin tahu membuncah, tapi penggah tetap utama. Sedang lapar sedari tadi amat menyiksa. Gesekan wajan dan centong besi perlahan menghilang berganti suara langkah kaki yang semakin jelas menujuku.
Risma datang membawa nampan yang diatasnya sepiring nasi membumbung, segelas air dan alasnya, serta dua butir telur ceplok yang nyaris tenggelam di lautan kecap. Belum kutelan, tenggorokan memberi sinyal agar jangan dimakan.Satu jam di dapur, sulit masuk di logika sebagian orang bahwa yang dibuat hanya lauk serupa. Tapi, itulah istriku. Dengan segala keterbatasannya aku menghabiskan sepuluh tahun bersama meski ciri-cirinya tak layak disebut istri. Bukan karena ia tidak tahu memasak, namun tingkahnya yang seolah seperti gadis.
"Mas, ayo makan dulu. Aku buat makanan favoritmu, telur pedas manis! Seketika hatiku terenyuh melihatnya. Pemandangan yang jarang kujumpai. Walau rasa emosi masih menguasai.
"Mas, aku minta maaf." Seperti bukan Risma yang kukenal. Ia berubah menjadi lembut. Hanya saja aku tak boleh dengan mudahnya memaafkan. Kecuali ia berjanji akan berubah dan tidak lagi menganggap suaminya pajangan semata.
"Iya!" jawabku singkat.
"Senyum dong, Mas!"" ia mulai menggodaku.
"Asal kau berjanji tidak lagi menuntut hal yang membuat kepalaku serasa pecah!" tawarku. Semoga saja ia setuju. Meski roman-romannya tak mungkin secepat itu mengubah sifat yang mendarahdaging.
"Ia, Mas. Aku janji akan jadi istri yang baik untukmu. Tapi, jangan marah seperti tadi pagi. Aku tidak suka!" Risma kemudian meletakkan baki di atas bupet lalu merebahkan tubuhnya di dadaku.
"Mas, perutmu bunyi. Ayo makan!"
"Kutelan dengan rasa syukur lauk kecap yang ia suguhkan!" memang biasa saja di mata orang lain. Beda denganku yang takjub atas usahanya. Semoga jadi pertanda baik dihubungan kami kelak.
***
Setelah semalam adegan saling memaafkan, berjanji, dan memaklumi. Pagu hari tak ada perubahan berarti. Janjinya ingin jadi istri yang baik, tapi bajuku kantorku tak disiapkan. Masih tertidur bergelung selimut coklat mudanya. Kebiasan setelah shalat subuh, ia kembali ke kasur.
"Risma, bangun!
"Tunggu, mas lima menit lagi" sambil menarik selimutnya lalu melanjutkan tidur dan lalu dibangunkan oleh dering teleponku."Halo!" tumben sepagi ini adikku menelpon.
"Mas, ibu sedang merenovasi dapur. Aku dan Mas Ivan sepakat mengumpulkan uang untuk diberi pada ibu dan ayah!" untunglah hari ini gajian. Setidaknya uang lima belas juta kupakai sebulan sudah cukup. Lima jutanya kuberi pada ibu.
"Berapa?" tanyaku.
"Tiga juta, Mas. Tapi kalau mas mau lebih malah bagus. Kan gajimu lebih tinggi. Hehehe!" Dia tidak tahu kalau gajiku selalu habis dilalap istri sendiri.
"Baiklah. Kirim nomor rekeningmu!" ucapku diujung telepon.
"Siapa?" wajah bantal bertanya sambil menguap.
"Bian. Katanya sedang mengumpulkan uang untuk membatu ibu merenovasi dapurnya. Kan kau tahu, setiap hujan turun, air menggenangi lantai yang masih beralas semen. Kau mau kan? Cuma lima juta. Sisanya masih banyak" Jawabku santai. Semalam ia sudah berjanji. Mudah-mudahan ia tidak membangkang kali ini.
"Lima juta? Trus saudaramu yang lain?" matanya melotot. Perasaanku mulai risau.
"Mereka tiga juta. Kan kau tahu gajinya tak seberapa, toh masih mau mengumpulkan uang untuk ibu. Istri mas Bian dan Ivan juga tidak ada yang keberatan" Risma bangkit dari posisi terlentang.
"Aku tidak setuju. Enak saja pembagiannya tidak rata seperti itu. Jangan samakan aku dengan istri adik dan kakakmu. Mereka bisa hidup dengan uang seadanya karena terbiasa hidup susah. Aku tidak bisa!"
"Satu juta saja!" Mataku terbelalak mendengar ucapan itu keluar dari mulut orang yang janjinya masih tertancap jelas diingatan."Risma! Baru kali ini aku ingin memberi uang pada mereka. Buka hatimu sedikit! Apa kau tak kasihan orang tua harus bolak balik menganggkut barangnya ke sudut yang tak terkena rintik hujan? "
"Kasihan dong. Tapi, kau tak boleh menyumbang lebih banyak, Mas. Aku hanya bisa mengikhlaskan satu juta." tetap pada pendiriannya.
"Risma! Ini untuk ibu dan ayah, mertuamu!" Keterlaluan sekali perempuan ini.
"Mas, memangnya pernah orang tuaku kau beri uang? Tidak bukan? Malah mereka yang setiap bulan mengirimkanku uang untuk mecukupi kebutuhan yang tidak bisa kau penuhi."
"Huh, susah yah punya mertua yang waktu muda tidak tahu mencari peluang usaha. Makanya pas tua malah menyusahkan anak menantunya!" Dengan ekspresi setengah menyindir."DIAM KAU! Keterlaluan!" *plaakkkkk* Kuhantam pipi mulusnya kemudian berlalu meninggalkannya. Dugaanku tidak meleset. Dia sulit berubah!
"Mass.. Masssssss! Mas Ibaaammmmmm!" ia berteriak berkali-kali tak lagi kuhiraukan. Entah kapan ia akan berubah.
.