Phillip's Stories : 5

221 32 15
                                    

"Dari mana aja lo baru pulang jam segini?" tanya Parviz begitu melihat sang adik yang baru tiba di rumah pada pukul dua belas lewat tiga puluh menit dini hari.

"Bukan urusan lo!" ketus Phillip.

"Udah gak pake embel-embel 'Kak' lagi ya sekarang," sinis Parviz.

Keduanya saat ini sedang berada di dapur, dengan gelas berisi air dingin di tangan masing-masing. Parviz yang terlelap lalu tiba-tiba terbangun karena rasa haus, dan Phillip yang kehausan karena habis mengelilingi beberapa kecamatan di daerah tempat tinggalnya dengan motor. Suatu kebiasaan yang aneh memang, tapi begitulah cara Phillip meredakan amarahnya.

"Kenapa lo pulang ke rumah?"

Satu pertanyaan itu berhasil membuat Parviz tersedak. Phillip mengentas gelas kosong miliknya dari atas meja makan ke wastafel sembari menunggu batuk Parviz reda.

"Gue pengen pulang." Tatapan Parviz mendadak teduh dan itu membuat Phillip merinding.

"Bukan karena dikejar-kejar rentenir?"

"Karena itu juga, salah satunya."

"Lo tau, gara-gara ulah lo itu hidup gue jadi gak tenang! Tapi gue gak bisa cerita ke siapa-siapa, termasuk nyokap! Gue harus menanggung semua beban ini sendiri! SENDIRI!"

"Lo pikir gue nggak menanggung semua ini sendiri?! GUE LEBIH MENDERITA DARIPADA ELO!"

Keduanya terdiam setelah puas saling berteriak satu sama lain. Napas mereka saling memburu.

"Lo gak tau gimana rasanya jadi yang gak dipedulikan dan selalu dibanding-bandingkan, Phillip. Sebelum lo lahir, gue selalu disayang sama nyokap dan bokap. Mereka begitu perhatian sama gue. Gue merasa beruntung bisa lahir di dunia dan menjadi anak mereka waktu itu. Gue bahagia." Tatapan mata Parviz menerawang, kemudian ia melanjutkan.

"Tapi semua itu berubah sejak lo lahir. Nyokap dan bokap selalu mengutamakan lo. Lama-lama gue ngerasa mereka jadi gak sayang dan perhatian lagi sama gue. Lalu, dengan pemikiran anak-anak gue waktu itu, gue harus menarik perhatian mereka kembali. Caranya, dengan menjahili lo. Kalo lo nangis ketika gue jahili, otomatis mereka akan segera datang dan menegur gue. Bayangin, ditegur aja gue seneng banget waktu itu! Tapi tetap aja, selalu lo yang mereka tanyain. 'Phillip gak kenapa-kenapa kan? Ada yang sakit gak?' Dan ujung-ujungnya perhatian mereka tetap ke lo, bukan ke gue. Dan terus begitu sampe kita gede. Sampe sekarang."

Phillip menggeleng pelan. "Lo salah besar. Mereka masih sangat perhatian dan sayang sama lo. Mereka selalu nanyain kabar elo ke gue, kalo lo mau tau."

"Bullshit!" Sorot mata Parviz mendadak sinis. Rahangnya mengeras.

"Terus soal... narkoba itu... sampe kapan lo mau ngerahasiainnya dari mereka?"

"Gue belum siap, Phillip. Itu adalah dosa terbesar gue. Lo gak tau betapa depresinya gue waktu itu. Gue nyaris bunuh diri karena ngerasa gak ada satu pun yang ngedukung gue. Lalu, temen gue ngajakin ke pesta ulangtahun ceweknya dengan alasan supaya gue bisa menghibur diri. Gue iya-iya aja waktu itu karena gak ada firasat buruk apapun. Tapi ternyata, temen gue itu nyampurin entah apa dalam minuman gue. Dan sialnya gue ketagihan! Dari situ gue baru tau kalo dalam minuman yang gue minum itu ada narkobanya."

"Jadi... kamu pemakai, Kak?"

"Mama!" jerit kedua kakak-beradik itu bersamaan. Mereka tak menyadari kalau Suji telah berdiri cukup lama di samping kulkas dan mendengarkan obrolan mereka. Air mata telah membasahi pipi wanita paruh baya itu. Tangannya gemetaran karena terkejut dengan apa yang ia dengar dari mulut anak sulungnya sendiri.

Other Side - #31DWCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang