Masih tentang sepuluh tahun yang lalu...
Jreng... jreng... jreng...
Bunyi sumbang genjrengan gitar mengalun dari lantai atas tempat kamar Jaevan berada. Lelaki berkacamata itu terlihat frustasi. Rambutnya kusut dan acak-acakan, keningnya berkerut saat ia tidak menemukan nada yang pas. Sebentar-sebentar ia berhenti memetik senar gitar karena jari tangannya yang lecet terasa sakit. Akhirnya, ia mengempaskan gitar akustik berwarna merah maroon itu ke atas kasur dengan kasar.
"Aaaarrgghh!" Jaevan mengacak-acak rambutnya dengan kesal. "Kenapa belajar gitar susah banget sih?!"
Sudah hampir sebulan ia belajar main gitar, tapi tak kunjung bisa juga. Kemudian ia menyiahkan gitar milik ayahnya itu agar ia bisa tiduran di atas kasur.
Saat memejamkan mata, ia kembali teringat dengan percakapan antara Yuwa dan Bri beberapa hari yang lalu. Saat itu Jaevan sedang berada di kantin, mengantri di kios penjual siomay. Dari arah depan, ia mendengar suara dua orang sedang bercakap-cakap, tapi tidak terlalu jelas karena kantin sedang ramai.
"Jadi mama gak ngijinin lo kuliah di Jepang?" tanya Yuwa yang berada di sebelah kanan Bri.
"Iya, padahal lo tau sendiri gue pengen banget kuliah di Jepang. Gue udah nyisihin uang jajan gue selama ini. Gue juga udah cari-cari info beasiswa di sana," balas Bri terlihat sedih. Jaevan berdecih tanpa sadar melihat ekspresi Bri yang seperti dibuat-buat agar Yuwa merasa iba itu.
"Nanti gue bantu ngomong deh sama mama. Sayang juga kemampuan lo disia-siain kalo sampe salah masuk jurusan."
"Iya, tolong ya. Mama pasti mau ngedengerin kamu. Kan kamu anak kesayangan mama."
Jaevan tak dapat mendengar lagi obrolan mereka sehabis itu karena ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Bachan yang ternyata mau nitip beli siomay juga.
Jadi Yuwa sama Bri kakak-beradik? Tapi mereka seumuran, dan mereka juga gak ada mirip-miripnya sama sekali. Batin Jaevan heran.
Kalo mereka kakak-adik... gue gak ada saingan dong! Jaevan terkikik sendiri dengan asumsinya tersebut. Maka, dengan berbekal kepercayaan diri, Jaevan mulai mendekati Yuwa keesokan harinya.
Tiap datang ke sekolah, ia sengaja nongkrong di depan gerbang terlebih dahulu. Sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi dan ia tidak menjumpai Yuwa di depan gerbang, ia sengaja memutari jalan untuk melewati kelas Yuwa berada. Jika beruntung, ia akan melihat gadis berlesung pipi itu sedang duduk dan mengobrol dengan teman sebangkunya.
Suatu siang, saat jam istirahat berbunyi, Jaevan dan teman-teman sekelasnya yang hari itu praktek di Laboratorium Bahasa berhamburan keluar menuju kantin. Baru dua langkah dari pintu, netra Jaevan menangkap sesosok gadis yang selama ini diam-diam menjadi perhatiannya.
"Pulpen lo jatuh! Oy! Yuwa!" Jaevan sedikit berteriak karena Yuwa sudah berjalan agak menjauh.
Merasa dipanggil, Yuwa pun menghentikan jalannya dan menoleh ke belakang. Kemudian ia menghampiri Jaevan yang sedang berdiri sambil mengulum senyum.
"Kenapa?"
"Tuh, pulpen lo jatuh." Jaevan mengarahkan dagunya ke arah bawah, tepat di mana pulpen Yuwa tergeletak.
"Bukannya ngambilin, malah teriak nyuruh orang ke sini! Ck!" kekesalan tercetak jelas di wajah Yuwa.
"Kalo gue ambil, keburu lo jauh duluan." Jaevan masih berusaha menahan senyum saat melihat wajah Yuwa yang semakin masam. Cute, batin Jaevan gemas.
"Lo sama si Bri-Bri itu kakak-adek?"
Yuwa menautkan kedua alisnya, agak kaget dengan pertanyaan mendadak Jaevan. "Kenapa emang?"
"Ya gak pa-pa sih. Kalo beneran kakak-adek kan, gue jadi mudah." Kali ini Jaevan mencetak senyum miring di wajahnya.
"Sinting!" balas Yuwa lalu segera berbalik badan dan pergi dari situ.
"Wooy lo belom jawab gue!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Other Side - #31DWC
FanfictionDi atas panggung mereka berlima dikenal sebagai anggota band indie yang tampan, penuh talenta dan berkharisma. Tapi begitu di luar panggung, semuanya sama sekali berbeda. Ini adalah kisah Stevano, Jaevan, Brian, Phillip dan Dhion di luar panggung ya...