Chapter O2

10.7K 1K 257
                                    

Namanya, Sarada. Dia bukan sumber petaka. Bukan sumber masalah. Bukan dosa.

Meski Sakura tidak akan pernah lagi melihat bagaimana fajar menyingsing menyambut hamparan lazuardi yang luas. Meski Sakura tak akan pernah lagi melihat taburan bintang yang selalu menjadi harapannya setiap malam; saat dirinya hendak diberi izin untuk meninggalkan gegap-gempita dunia, Sakura bersikeras tetap tidak akan pernah sekali pun menyesali hadirnya seorang Sarada.

Sebab, dia adalah hidupnya.

Hadirnya Sarada, merupakan suatu hal besar yang telah membuat dirinya tahu bagaimana rasanya hidup tanpa kesendirian yang sejak dulu membelenggu.

Banyak orang yang membicarakan, jika hadirnya seorang anak adalah buah cinta dalam sebuah hubungan. Tapi Sakura sedikit ragu untuk mengakui adanya perasaan itu. Pernikahan, hubungan, hadirnya Sarada sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu semua.

Tidak. Sama sekali tidak.

Dalam arti lain, Sakura tidak mengakui adanya spekulasi banyak orang jika hadirnya seorang anak adalah hasil dari perasaan cinta di antara Ayah dan Ibu.

Sakura memang tidak tahu apa itu komitmen sejak kecil. Menurutnya, hubungan dan pernikahan hanyalah sekadar status sosial saja sebagai pandangan orang lain. Terlebih dirinya juga sudah ditakdirkan menetap di tanah liberal yang tak terlalu mementingkan sebuah hubungan penting. Tiga tahun sebagai siswi sekolah menengah atas, Sakura terkadang berpikir, apa puasnya menjadi kekasih seorang pria dengan disuguhi kalimat cinta dan bunga di setiap malam jika ujungnya hubungan itu juga akan berakhir kandas.

Semua teman-temannya sudah mempunyai kekasih, mereka terkadang selalu memamerkan kemesraan di depan khalayak ramai bahkan bercumbu di kafetaria sekolah saat hari masih siang. Sakura sering melihatnya, dan ia akan mengambil tempat duduk di paling ujung sambil berpikir; cinta memang sialan. Membuat seseorang buta dan meninggalkan sebuah pendirian.

Menurutnya, hubungan seperti itu cuma sebatas bahan untuk panjat sosial. Tidak menarik, dan tidak penting.

Tapi semuanya berubah, ketika ada seseorang pertama kali mengajaknya untuk makan siang bersama di kafetaria. Duduk di satu meja yang sama, mengobrol seperti halnya kerabat dekat. Dan dia adalah teman pertamanya, Temari Yoshida. Perempuan pirang yang membuat Sakura bisa mempunyai beberapa teman yang mau berdekatan dengannya tanpa memandang status hierarki, sepintar apa otaknya, dan serupawan apa fisiknya.

Temari mengenalinya dengan baik. Gadis itu bahkan tanpa ragu terus mengajak Sakura makan siang bersama setiap hari. Meski cemoohan siswa siswi berotak cerdas dan para putra pejabat selalu mengiringi langkah mereka ke kafetaria, tapi Temari akan menganggap itu semua hanyalah angin lalu yang tidak penting.

Sejak saat itu, Sakura mulai meniru bagaimana seorang Temari berperilaku tak peduli terhadap pandangan negatif orang lain. Melahirkan sisi dirinya yang kuat dan percaya diri.

Begitulah Temari. Salah satu teman Sakura yang paling berharga.

Sebelumnya Sakura belum pernah membayangkan akan seperti apa dirinya jika berhasil mempunyai teman dari salah satu peraih peringkat paling tinggi di kelas. Melihat Hinata, si peringkat kedua, gadis paling cerdas di kelasnya, teman dekat Temari. Berteman dengan Hinata Hyuuga adalah hal yang mustahil untuk bisa Sakura rasakan.

Apa daya dirinya yang cuma peringkat paling rendah kelima dari yang terendah di kelas. Jangankan gadis paling cerdas, guru pun  mungkin juga enggan meliriknya, kecuali mereka yang mempunyai dalih orang tua berada.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang