Chapter 14

6.5K 691 110
                                    

[[!] cautionary: depiction of time leaps. please, process it carefully.]

•••

Seolah baru saja terjadi kemarin, ada beberapa keping memori yang masih kerap merekah jelas dalam kepala Sasori Akasuna. Salah satu yang paling menggelora adalah tentang momen akhir pekan; kemacetan panjang tengah kota. Saat itu langit sungguh muram; hujan salju turun lebih awal, Sasori terjebak di tengah jalanan hampir lima belas menit lamanya. Pukul delapan, terlalu pagi untuk menguapkan amarah, namun karena aktivitas polisi, puing truk serta mobil bekas detonasi yang terjadi semalam sukses membuat persimpangan jalan mengalami kerusakan, pun karena dua hal tersebut lajur lalulintas jadi terhambat, Sasori yang berang sukses mencuri atensi beberapa pengguna jalan lain lantaran umpatan teredam dari balik helm yang secara kontan keluar dari mulutnya justru bisa didengar sangat jelas.

Selain pandangan sedikit terdistorsi embun, jaket lengas, dan genggaman telapak tangannya pada kedua stang mulai menggigil, pria tersebut kesal setengah mati pula karena baru menyadari seberapa besar kadar kedunguan dalam dirinya yang rela menerobos udara beku pagi-pagi sekali cuma karena perkara putus cinta.

Beberapa minggu belakangan, Sasori memang sempat patah hati. Nahasnya ia adalah satu dari sekian banyak laki-laki kurang beruntung di dunia ini yang pernah sekali berani menaruh perasaan serius pada seorang Katherine Moore—putri komite sekolah yang padahal telah ia percayai itu, nyatanya tidak lebih hanyalah seorang penyeleweng kelas teri yang diam-diam bermain dengan laki-laki lain.

Well, sial.

Malas sebenarnya kalau disuruh menghabiskan waktu cuma guna menangani hal-hal yang bisa membuat hati bergolak dongkol. Selagi bisa, lebih baik dihindari. Kalau urusan kekasih pun mulanya Sasori cukup apatis. Karena itu mantannya masih dapat dihitung jemari, barangkali cuma dua yang benar-benar membekas dan katakan saja Katherine yang paling beruntung sebab selain Sasori pernah teramat mencintai wanita itu, sudah lumayan banyak cerita yang pernah mereka lewati, sebagian besar terasa manis. Ia dan Katherine kerap berakhir di tempat tidur, kerap mengusung konversasi tentang akan jadi seperti apa hubungan mereka di masa depan nanti, seolah-olah dunia milik berdua.

Dan kini keping demi keping cerita tersebut justru malah berubah terdengar amat menjengkelkan di telinga Sasori.

Menyesal? Oh, tentu. Sasori takkan berlagak hipokrit. Soal pernah menghabiskan banyak waktu untuk Katherine, maksudnya. Siapa yang tidak menyesal setelah cinta yang kauperjuangkan mati-matian malah dilabeli permainan dan dipandang cuma-cuma?

Kalau bukan karena pesan yang dikirimkan Katherine, Sasori juga enggan bila harus pergi ke Camelia Haute—kafe langganan mereka sewaktu masih berkencan dulu—guna menemui sundal satu itu dan menanyakan alasan mengapa dia ingin kembali. Ya, Katherine-Sialan-Moore mengirim pesan berupa pengakuan menyesal karena telah menyelingkuhi Sasori. Alih-alih turut meminta maaf, sementara bagi Sasori sendiri pesan tersebut malah terdengar bak peluang sempurna guna balik menggencarkan satu poin untuk pembalasan.

Tapi, tidak. Sasori bukan pendendam, kok. Ia cuma tidak berminat menampung sakit hati yang membuatnya hampir gila sendirian. Toh satu kali membuat Katherine menangis tidak apa. Itu pun kalau berhasil, Sasori juga yakin ada maksud kedua di balik Katherine ingin bersua dengannya.

Jadi melepas helm, beringsut turun dan buru-buru melangkah mendekati Naruto secara diam-diam setelah ducati kesayangannya sampai di areal parkir Camelia Haute, lantas tak dituruti keinginan sang mantan. Mau tahu rencana Sasori yang jujur? Sebenarnya ia sama sekali tidak serius mau mencap wajah sendiri menjadi pengemis cinta yang mau-mau saja menampung kalimat-kalimat murahan dari mulut wanita yang telah berani menghancurkan kepercayaannya begitu saja.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang