"Hanya sedikit cerita, kebetulan ini cerita yang sangat memalukan." Sasori sejenak mengembuskan napas, tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Aku pernah bertemu dengan lelaki. Lelaki yang besar, dia mencatat gym di dalam kamus hidupnya sebagai prioritas. Kami bertemu di club malam saat esok harinya akan dimulai ujian."
Holy cow. Sakura merengut. "Kau ke club saat besoknya ada ujian?"
"Iya, sungguh." Sasori tersenyum angkuh. "Tolong jangan bilang padaku kenapa karena kau sudah tahu jika sekolah memang benar-benar bukan prioritasku."
Sakura berkedip mengerti, melirik Sasori yang tersenyum menawan dan kekanak-kanakan. Kedua pipinya yang putih tampak mulai menggelap, merah tersentuh suhu yang sepertinya belum terbiasa. Sakura tahu pemuda itu mulai kedinginan.
"Kembali pada cerita," kata Sasori hangat. "Setiap malam, dia selalu mengajakku ke club. Saat aku datang, di meja bar selalu saja sudah ada dua gelas tequila. Dia selalu memesannya duluan, hanya untukku, katanya." Sasori menahan napas. "Menjijikkan, bukan?"
"Aku pernah datang ke club di saat aku flu, dan pria besar itu malah menawariku Nyquil. Aku menganggap jika sikap altruismenya hanya karena dia yang mulai memandangku sebagai teman, barangkali. Namun saat aku pulang, aku lantas segera membuka bungkus obatnya dan di dalam sana tahu ada apa? Ada boom!" Sasori menggerakkan tangannya ke udara meniru sebuah granat yang meledak. "Ada surat, di sana tertulis, 'Too Sasori. Hei, get well soon, baby.' "
Mulut pemuda itu terbuka, meraup napas dalam-dalam lalu seraut ekspresi wajahnya kembali serius. "Keesokan harinya. Aku kembali datang ke club, mengabaikan dua gelas tequila kami dan aku langsung memberinya pukulan telak di perut. Aku jelas tak mau melukai wajahnya, karena aku tahu itu akan membuatku terlihat seperti seorang gadis yang hancur. Aku memukulinya terus, membabi buta, tak peduli security yang mulai menahan tubuhku dan menghentikan aktivitasku. Setelah itu, aku menyerah berhenti, meludahinya dan berteriak di depannya seperti ini, 'Aku tahu kau penyuka sesama, berhenti bersikap jorok padaku. Mendengarmu bersetubuh dengan sepuluh gadis atau melakukan transgender lebih baik daripada aku tahu jika kau mulai menyukaiku.' Begitulah kira-kiranya kataku, hm ... sebenarnya aku lupa. Tapi yang jelas, aku telah berhasil membuatnya sepeti gadis yang patah hati."
Sakura menghentikan langkah, tampak hanyut dengan ekspresi Sasori yang menurutnya kelewat serius. "Dia penyuka sesama? Dan dia ... menyukaimu?"
Sasori meringis. "Kedengarannya bagaimana?"
"Oh, Christ." bisik Sakura sangat pelan. Memandang Sasori penuh selidik tatkala mereka berdua telah sampai di depan pintu kaca lobi. "Apa ini hanya gurauan?"
"Sayangnya, ya." Sasori mengaku, bibirnya nyegir lebar ke atas. Memperlihatkan dua gigi serinya seperti bocah tanpa dosa.
"Astaga!" Sakura memekik secara spontan. Tawa humor sontak saja keluar dari celah bibirnya dengan lepas, bahkan sampai terbahak-bahak. Hanya beberapa detik sampai Sakura merasakan kram mulai menghantam di bagian perut, mengingatkannya dengan luka bekas jahitan. Gadis tersebut berubah stagnan, buru-buru mengusap perut.
Melihat sang lawan bicara merengut perih, tentu saja Sasori jadi penasaran. "Hei, ada apa?"
Sakura dengan gesit menggeleng. "Tidak apa-apa. Hanya kram biasa, maafkan aku," katanya malu, serak, dan terengah.
"Maaf untuk apa?"
"Barangkali aku tertawa terlalu keras."
Sasori meniru tawa si gadis yang lepas, satu tangan pemuda itu terangkat, mengusak surai Sakura lembut lalu tersenyum. "Aku bahkan tak menyangka kalau bahan gurauanku sampai bisa membuat perutmu kram. Harusnya aku yang minta maaf. Maaf, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fanfiction[completed] Di balik segaris senyum ringkihnya, di balik setangki sukacita yang semua orang kira amerta, hampir tak ada yang tahu bahwa Sakura Haruno harus hidup terbelenggu oleh tanggung jawab; menghidupi sang putri dan terjebak ke dalam sebuah lab...