Selepas kisah cinta lamanya berakhir nahas, Sasori belum pernah berkencan lagi, dan pada beberapa kesempatan dia memang kadang terkesan seolah tidak peduli dengan urusan asmara. Namun walau demikian bukan berarti pria tersebut digulung trauma, punya keputusan akan hidup melajang selamanya, atau berniat mempersunting perempuan mana saja, yang penting Ibu yang kerap mempertanyakan soal kapan ia akan menikah dan dapat memperoleh keturunan bungkam, dan dirinya tidak akan bergelar menjadi bujang tua.
Jika bicara soal kriteria, oh, tentu sebagai seseorang yang ingin dimiliki dan memiliki pasangan hidup yang baik, Sasori akan berkata terus terang jika ia juga punya daftar tersendiri untuk yang satu itu.
Kriterianya memang tidak setinggi para peragawati yang tengah beken, tidak pula sempurna harus yang serba bisa ini-itu. Sebab ... hei, bukankah banyak yang bilang tidak ada manusia yang terlahir sempurna di dunia ini? Sasori takkan mengulas detail seperti apa ciri-ciri istri idamannya. Yang paling penting guna mengurangi probabilitas terjadinya perpecahan di tengah jalan, jangan sembarang wanita, katanya. Sasori yang pernah tenggelam dalam pahit getir efek pasca-perceraian jelas akan berpikir sampai sejauh itu.
Sasori juga bukanlah idealis, daripada mengharapkan kisahnya berjalan lurus bak roman picisan, ia adalah kaum realistis yang tahu benar jika sebagai lelaki yang kelak akan menjadi kepala keluarga di zaman ini kau jelas tidak dapat memiliki seorang wanita hanya dengan berbekal wajah tampan dan peryataan cinta. Selagi pangkatnya di kepolisian terus meningkat, Sasori juga mulai berpikir jika kerja keras serta sebagian kompensasi yang ditabungnya dalam rekening kini bukan semata-mata cuma karena mengabulkan keinginan mendiang sang ayah, ibunya pula bilang sudah saatnya ia memikirkan masa depan.
Tanpa mencari tahu lebih jauh pun Sasori sudah mengerti benar apa yang diinginkan ibunya. Kerap bertanya mengenai urusan asmara sang putra akhir-akhir ini wanita tersebut jadi semakin jelas terlihat seolah memang sangat mengharapkan menantu dan seorang cucu.
Sasori menyemprotkan cologne pada perpotongan leher serta kedua pergelangan tangannya sekali lagi. Tubuhnya sudah harum. Impresinya sudah keren. Menatap refleksi sendiri pada permukaan cermin, dan mensyukuri betapa baik Tuhan yang telah memberinya wajah rupawan tiada dua, Sasori tersenyum congkak. Berhubung masa cuti masih terus berlangsung, Sasori berniat akan pergi jalan-jalan ke luar sebentar, dan sebut dirinya yang sekarang sedang dalam mode kelewat percaya diri. Jangankan sanggup menggaet satu dua hati gadis lajang di luaran sana, ia bahkan sempat berpikir jika dirinya yang tampan ini mampu membuat para model pria seksi Calvin Klein bermuram durja lantaran merasa tersaingi.
"Mau ke mana?"
Namun Sasori yang baru saja meninggalkan undakan tangga terakhir, mengenakan jaket, dan menyambar kunci mobil hendak keluar sontak membeku sedetik kemudian begitu kakinya melewati dapur. Sensasi menyenangkan yang padahal beberapa saat lalu menyelimuti hatinya mendadak lindap. Mau tak mau menghentikan langkah sejenak, dan melempar atensi sembari tertawa gugup, Sasori menggaruk belakang kepalanya gusar saat balas melempar jawaban, "Tidak ke mana-mana, kok."
"Yang benar?" Lawan bicaranya menyahut lagi tanpa menolehkan tubuh dari letupan-letupan kecil di panci keramik. "Padahal tadinya aku ingin menitip sesuatu jika kau mau pergi ke luar."
"Tadinya mau, tapi sepertinya tidak jadi karena—"
Barangkali memang tidak mengherankan Ibu pernah melempar kelakar jika Konan, istri dari salah satu sepupunya tersebut kadang memiliki perangai bak mantan seorang senior yang dulunya gemar menekan dan menguliti murid baru. Begitu tubuh wanita itu berotasi, Sasori kontan membungkam mulut. Konan menatap lurus, menyelidik, mengintimidasi, seolah sang sepupu adalah samsak tinju yang siap ditendang. "Kau sudah kelihatan tampan dan rapi sekali. Wangi, lagi. Tidak baik, lho, menolak permintaan orang yang lebih tua, terlebih permintaan dari seorang wanita yang tengah hamil besar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fanfiction[completed] Di balik segaris senyum ringkihnya, di balik setangki sukacita yang semua orang kira amerta, hampir tak ada yang tahu bahwa Sakura Haruno harus hidup terbelenggu oleh tanggung jawab; menghidupi sang putri dan terjebak ke dalam sebuah lab...