Sasuke seperti membuat sebuah pengakuan.
Kalimat mencengangkannya jelas mengundang sejuta pertanyaan menghantam kepala Sakura. Gadis itu pula sempat mencoba bertanya lebih jauh lagi apa maksud dari kalimat Sasuke namun Sasuke sendiri hanya menghalau napas, berguling ke samping dan tak mengatakan apa pun lagi selain mengucapkan selamat malam lalu tidur. Melupakan apa yang baru saja dikatakan.
Bahkan sampai esok pagi, rupanya Sakura—karena masih penasaran—mencoba lagi dan lagi bertanya pada Sasuke. Walau terhitung sudah ada puluhan kali pun Sakura bertanya, semua itu akan berujung pada jawaban yang sama. Sampai pada akhirnya, Sasuke sudah tak bisa memanfaatkan kesabarannya lagi, dan kehangatan yang sempat menyelimuti lelaki itu dalam beberapa hari terakhir ini lantas lenyap dalam sekejap. Ia tak nyaman. Pertanyaan Sakura terus-menerus berhasil mengusik ketenangannya hingga amarah sudah tak dapat dibendungnya sampai pertengkaran picik pun tak dapat dihindari.
Sasuke mendesah bingung, mengecek ponsel yang tak kunjung dapat balasan. Beberapa kali menelepon pun tidak ada jawaban, ingin sekali Sasuke kembali dan meminta maaf pada Sakura namun itu hanya akan memanifestasikan diri sendiri seperti ... sampah.
Sudah lima hari berlalu, semenjak ketidaksengajaannya kembali membentak Sakura. Sasuke merasa seperti ada dinding pembatas yang menjulang ke langit antara dirinya dengan Sakura. Menghalangi dirinya untuk tak bisa menemui gadis itu. Beban sesal yang dirasakan malah kian memberat dari hari ke hari, menggelegak, menghujam, bahkan tak membiarkan tidurnya tenang barang satu malam.
Sasuke kadang menertawakan dirinya sendiri, Sakura dengan segala obsesinya. Apakah gadis itu adalah obsesinya? Atau sebaliknya? Apa gadis tersebut menganggap jika Sasuke Uchiha sebagai obsesi? Sebab walau sudah ribuan kali kata sarkastik keluar dari mulut Sasuke dan menghancurkan hati Sakura Haruno dalam satu kali pertemuan pun itu semua akan cuma-cuma. Sasuke tahu, ada keterlibatan perasaan yang membuat Sakura tak bisa terus menjauh darinya.
Aku mencintaimu. Sasuke menggeleng. Mengingat suara yang dilesatkan dalam batas ambang kesadaran tersebut kembali berputar di dalam memori. Yang benar saja, pikirnya. Jangan. Jangan mencintai. Jangan mencintai orang rusak sepertiku.
Suara denting pintu lift yang terbuka berhasil memecah lamunan Sasuke kembali ke permukaan. Saat pintu terbuka, sekelompok pengunjung jadwal besuk langsung masuk setelah dirinya keluar. Sasuke lantas segera berjalan, menelusuri koridor rumah sakit dengan tenang, tangannya menolak pintu kaca, berbelok ke kanan untuk menemui ruangan dengan plat 104B.
Ruangan Hinata Hyuuga.
Satu alis Sasuke naik sedikit begitu ia sampai di depan pintu, sedikit bingung menemukan presensinya sendiri ternyata telah dinanti oleh entitas lain. Menatap begitu lurus, dengan sepercik angkara menjilat kepala, Hiashi Hyuuga serta-merta mendengkus samar, siap hendak melesatkan sebuah kalimat namun Sasuke lebih dulu menyapa sopan, "Mr. Hyuuga."
Kening Hiashi mengerut. "Bisa ikut aku sebentar, Sasuke?"
Wajah Sasuke yang datar sedikit mengeras, hanya beberapa detik sampai pandangannya melunak dan bibirnya tersenyum ramah. "Tentu saja."
Hiashi Hyuuga berjalan mendahului, sedikit menjauh dari ketenangan kamar kelas satu sang putri, dia membawa Sasuke bersama rasa penasarannya pergi menuju koridor berdinding kaca dengan metal baja. Tubuh paruh baya tersebut berhenti saat tak ada satu pun orang yang berlalu lalang, wajah Hiashi langsung menghadap ke arah dinding, menembus pemandangan metropolitan Chicago dari lantai dua puluh lima. Bersamaan dengan poros tubuhnya yang berbalik, kedua tangan paruh baya itu tenggelam ke dalam saku celananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fanfiction[completed] Di balik segaris senyum ringkihnya, di balik setangki sukacita yang semua orang kira amerta, hampir tak ada yang tahu bahwa Sakura Haruno harus hidup terbelenggu oleh tanggung jawab; menghidupi sang putri dan terjebak ke dalam sebuah lab...