Chapter 11

7.6K 822 87
                                    

"Lelah."

"Apa?"

"A-aku lelah."

"Belum, sialan. Masih belum selesai dan kau sudah mau aku berhenti? Tidak, tidak. Jangan bercanda. Angkat pinggulmu lebih tinggi lagi!"

Selayaknya dosa yang dibiarkan mengendap lama dalam sebuah kubangan, Sakura Haruno masih mengingat ada beberapa hal yang mendasari atas potongan konversasi tersebut; lutut bergetar, pinggulnya yang ditarik paksa, surainya yang digenggam erat, aroma besi berkarat yang memenuhi rongga mulut serta sengatan nyeri yang menyerang begitu saja—bentuk konsekuensi lantaran tubuhnya yang sudah terlalu lelah juga tumbang ke atas ranjang berakhir membuat Sasuke Uchiha geram.

Sementara sama sekali tak memedulikan atau bahkan berkenan mengakhiri aktivitas sinting tersebut, Sasuke sendiri justru malah kian meradang, kembali menelentangkan tubuh sang lawan, lantas menarik sabuk yang masih terpasang di celana kemudian secara bengis melayangkan beberapa lecutan pada tubuh polos Sakura yang sudah terkapar lemah putus asa di atas ranjang. Gadis itu merintih perih. Menciut takut. Meringkuk memeluk tubuh mencoba melindungi diri mencari sekeping harapan, barangkali Sasuke mau menghentikan.

Namun mengudarakan satu decih sengit, lantas kembali menyingkirkan paksa kedua tangan ringkih Sakura yang tengah berusaha meminimalisir rasa sakit dari luka baru di tubuhnya untuk digenggam erat, kengerian yang terjadi kala itu tentu takkan dibiarkan sepenuhnya lindap begitu saja.

Jelasnya, Sasuke masih belum mau berhenti. Masih terus ingin mencium. Masih terus mencumbu. Masih menghujam. Masih menggeram. Masih menampar. Masih ingin menyaksikan bagaimana seraut wajah Sakura di bawahnya menegang sekaligus terisak bersama sisa-sisa air mata yang telah lama mengering seolah sudah menjadi butir ekstasi yang kerap membuat Sasuke sukses menyeringai senang. Puas bukan kepalang. Tak peduli sekalipun mereka sudah mencapai puncak sanggama berulang-ulang.

"Aku tahu kau sudah sadar sedari tadi."

Sakura terkesiap, lamunannya memudar.

Tidak. Tidak. Sakura menggigit bibir gelisah. Belum mau bersuara. Kepalanya masih menghadap ke arah beton trotoar di sepanjang jalan.

Sasuke adalah Sasuke, pikirnya. Meski setelah melewati malam panjang tersebut tak jarang pula ia kerap menemukan pemuda itu akan masuk ke dalam apartemen pada pagi harinya seraya menenteng betadine serta gulungan kasa dengan wajah menyesal pun menggumamkan kata maaf, Sasuke tetap akan menjadi Sasuke Uchiha yang telah menumpahkan tinta hitam di sepanjang lembar hidupnya. Orang yang telah banyak menorehkan luka menganga pada fisik maupun hatinya. Sama. Sasuke akan tetap sama. Sementara Sakura sudah jatuh berkala. Kaca yang telah lama dibiarkan bergemeretak pecah takkan lagi terlihat serupa seperti dulu.

"Sakura." Memejamkan mata, Sakura berusaha cuai tatkala suara tersebut menyahut kembali. Kali ini agak terdengar sedikit memohon, "Sakura, tolong—shh ... hei, hei, baby, jangan dulu menangis, oke? Perjalanannya mungkin akan usai kurang lebih tiga puluh menit lagi."

Cukup. Sakura diam-diam menggertakkan rahang. Kedua telapak tangannya mengepal sengit. Dia menggeleng sekali guna mencoba mengusir pikiran gelap yang telah mengganggu kepalanya sejak tersadar dari beberapa menit lalu. Bayangan seraut ekspresi wajah bengis Sasuke dalam benaknya pula perlahan dibuat lindap kala suara tangis Sarada mendadak turut mengisi suasana nyenyat yang menyergap.

Menghela napas panjang barang sejenak, Sakura lantas menoleh. Menemukan Sasuke yang melirik dengan satu hela napas lega tahu dirinya kali ini mau merespons. "Bisa tolong ambil Sarada dulu?" Dia bertanya. Sedikit ragu melanjutkan, "Tapi kalau kau tak berkenan, tak apa. Aku bisa—"

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang