Epilogue

7.5K 665 223
                                    

Dalam sepanjang partitur kehidupannya, yang Sakura ingat ia nyaris tidak pernah menenteng bekal, apalagi mendengar sebuah cerita berdasarkan pengalaman. Ia belum pernah mendapat secangkir wejangan tentang bagaimana ia harus bertahan di atas pasang-surut kehidupan dalam bahtera rumah tangga yang diwanti-wantikan khusus dari seseorang untuk dirinya.

Pernikahan itu ... seperti apa? Akan bagaimana jadinya?

Namun seperti ketentuan semesta yang seolah sudah tercatat, sama halnya orang-orang yang sudah mengerti bahkan hanya dalam sekali terka saja, Sakura juga sudah menduga jika setiap pernikahan pasti takkan berlangsung semudah menuangkan teh ke dalam cawan. Asumsi umum, semua orang tahu itu. Kesan yang ditinggalkan ketika membangun pondasi pilar pertama memang terasa mendebarkan, tapi sensasinya ternyata tidak terlalu asing. Barangkali karena jauh sebelum-sebelumnya, Sakura sudah pernah menempatkan diri dalam kondisi hampir serupa.

Seumpama sisi koin yang saling bersinggungan, sejak dulu ia dan Sasuke tidak selalu berada dalam poros yang serupa, hidup bersama dua pemikiran yang kadang bertolak belakang memang bukan perkara mudah. Jadi tidak lagi mengherankan pada minggu-minggu pertama setelah Sasuke memutuskan untuk mempersuntingnya pun membawa keluarga kecil mereka pergi dan tinggal kembali di Ohio, Sakura tidak terkejut saat masa-masa sukar tandang.

Wanita tersebut menggigit bibir.

Gelombang puncak yang menyergap datang hampir terasa bak kobar api yang kian menggelegak.

Membuka mata, mengerjap perlahan, merasakan kedua engsel kaki bergetar hebat seperti hendak terlepas, Sakura terengah hebat sebelum mendongak dan memandang refleksi wajahnya yang sudah mengejang, memerah sempurna—terpantul pada permukaan cermin.

Punggungnya yang dibungkukkan mulai terasa kebas, jemarinya yang menggenggam kuat sisi-sisi wastafel semakin mengerat. Pandangan mengabur. Dunia berputar bak karosel. Gelora panas mengisi sepenjuru ruang, membuat napas merengap. Jika saja Sasuke terlambat menyadari dan tak segera meraih perutnya guna dipertahankan, Sakura yakin ia akan ambruk pada satu detik berikut, teronggok di lantai kamar mandi bak pakaian kusut.

Sasuke mendesah rendah. Berat gairah yang bersarang dalam diri masih meradang, belum selesai, namun ia mencoba tak kelewat batas. Menyampirkan surai Sakura, turut membungkuk guna sekilas mengecup lembut punggung polos serta ceruk leher sewarna porselen milik istrinya tersebut yang masih menguarkan aroma argan dari sabun cair mereka, Sasuke melepas penyatuan. Serta merta membimbing tubuh Sakura untuk dibalikkan perlahan, pria tersebut lantas melingkarkan kedua tungkai wanitanya pada pinggang, membopong Sakura yang ringan kembali ke dalam kamar; menuju ranjang.

"Apa yang kauinginkan?"

Dia bertanya serak, hangat, agam, hati-hati, tidak lagi otoriter. Sasuke hanya mendudukkan diri, bersandar pada headboard, menatap lurus, lantas memosisikan Sakura yang masih merekah merah di atas pangkuan. Masing-masing kesepuluh jemari mereka saling terjalin.

Jantung Sakura berdebar masif.

Ia lupa kapan pertama kali Sasuke menjadi lebih terbuka. Meski jika diperkenankan boleh berkata terus terang. Sebenarnya, masih. Ingatan kelam yang menaungi ruang dalam kepalanya masih utuh. Tidak terdistorsi oleh waktu. Insiden lama yang mulai terkubur kadang masih dapat dirasakan—sukses mengirimkan perasaan takut absolut hingga membuat tangan gemetar. Rekonsiliasi yang selama ini Sasuke upayakan jelas belum sempurna.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang