Chapter 17

4.7K 659 171
                                    

Sarada Haruno bukan satu dari sekian tipe balita yang gemar berbuat onar. Alih-alih dipenuhi pertumpahan angkara serta belenggu duka, kalau dikalkulasikan berdasarkan memori, sebagian besar ruang dalam kotak kehidupan yang dihuninya bersama sang ibu lebih banyak diisi dengan momen-momen penuh sukacita.

Namun kendati begitu bukan berarti hidup mereka bebas masalah. Sarada juga tumbuh normal sebagaimana anak-anak kebanyakan; pernah menangis, pernah terjatuh, terserang demam tinggi saat gigi pertamanya tumbuh, memiliki segudang mimpi dan harapan—yang beberapa di antara banyak permintaan tersebut pernah sempat Sarada lontarkan ketika berulang tahun. Seperti berseluncur di permukaan danau beku, mengetahui semua nama bintang-bintang, pertemuan dengan Sinterklas, pula Sakura bahkan sampai dibuat tergelak tak habis pikir saat Sarada pernah sekali berkeinginan melihat para gnome berlumut di taman milik Keluarga Yamanaka bisa hidup dan menyenandungkan, 'Heigh-Ho! Heigh-Ho!' seperti film Snow White and the Seven Dwarfs.

Pun percayalah jika kau perlahan mampu berdamai dengan luka lama, membangun perubahan, dan tak pernah lagi sibuk membanding-bandingkan hidup sendiri dengan hidup orang lain, hari-hari yang kaulewati kelak akan meninggalkan sedikit atau lebih banyak kesan manis serta ketenangan—tergantung dari bagaimana kau menyikapi. Seperti hari-hari yang telah Sakura lalui semenjak empat setengah tahun terakhir. Hidup dalam kesederhanaan pun bukanlah cela, dan bagi Sakura, pertumbuhan Sarada merupakan manifestasi dari sebuah kebahagiaan.

"Seseorang tidak perlu mencapai titik sempurna untuk dapat merasakan seperti apa hidup bahagia, Sayang."

Sarada ingat jika Mama pernah berujar demikian, sewaktu mereka mengunjungi rumah mendiang Nenek pada Minggu satu bulan yang lalu. Rumah tersebut cukup luas, punya beberapa kamar dan perapian besar, yang pernah membuat Sarada bertanya-tanya mengapa rumah sebagus milik Nenek dibiarkan tak terawat hingga penuh debu, bahkan halamannya pun sampai dihuni rumput liar setinggi betis orang dewasa. Agak terkesan suram—itulah yang Sarada lihat saat kunjungan pertama. Namun sekarang hunian tersebut sudah banyak berubah sebab Mama kerap membersihkannya.

Walau Mama selalu sungkan berlama-lama, menolak bermalam, dan cuma memperkenankan kunjungan rutin mereka tak lebih paling sampai pukul tiga sore, tapi Sarada selalu merasa bersemangat saat menikmati jam-jam singkatnya di rumah Nenek. Selain nyaman, alasan Sarada semringah sebab terdapat beberapa potret muda sang ayah juga di sana.

Omong-omong tentang Papa (begitu Sarada memanggil beliau), pernahkah Sarada bertemu dengannya?Jika iya seperti apa yang dibilang Mama, lantas di mana? Kapan? Benarkah Papa menyayangi Sarada sama besar sebagaimana Sarada menyayanginya?

Sarada merasa ragu, terkadang. Ia bisa mengenal seperti apa sosok sang ayah cuma lewat potret dan cerita. Itu pun bukan cerita mendetail, sebab yang Mama bilang tidak banyak. Yang Sarada tahu jika Papa itu berkacamata, baik, hebat, dan rupawan, selesai. Kuriositas Sarada masih memuncak, namun gadis kecil tersebut sudah enggan menggali penjelasan lebih dalam lagi lantaran ia tahu pertanyaannya pasti cuma akan dibalas senyum muram. Apa pun itu kalau sudah menyangkut soal Papa, Mama seolah terlihat tak nyaman.

Ah, (bila memang ada) kira-kira kapan, ya, Papa pulang? Sarada sungguh rindu.

Bukan karena kehidupan yang selama ini ia jalani bersama sang ibu tidak bahagia. Tidak. Itu pemikiran konyol. Sarada adalah orang pertama yang akan melontarkan elakan keras apabila ada yang berkata jika hidupnya tidak berwarna. Tentu saja ia bahagia. Teramat-sangat-bahagia. Sarada memang begitu menginginkan figur seorang ayah, namun ketidakhadiran sosok tersebut bukan berarti hari-harinya bersama sang ibu terus diselimuti air mata. Ada biru, kelabu, oranye, merah muda, dan masih banyak lagi—selayaknya pelangi, Mama telah menaburkan banyak sekali gradasi warna ke dalam kotak kehidupan mereka.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang