[[!] cautioninary: violence. gore. mentioning of self-injury, child abuse, drugs abuse, and other disturbing scene. this part may not be comfortable to read for some readers.]
•••
Kali ini terasa aneh. Aneh sekali. Seharusnya semua tidak terasa baru.
Padahal Sasuke sudah menghitung sebanyak lebih dari ratusan dirinya pernah bertandang ke momen familier ini. Suasana kelas yang berisik, bunyi bell pulang, pengumuman libur musim panas yang tak lagi diperhatikan, serta aroma amis tumisan ayam, lalu Sasuke setengah terperanjat saat seseorang yang duduk tidak jauh dari bangkunya tiba-tiba merengek dan mengadu pada guru jika dia butuh lebih banyak tisu sebab terkena tumpahan bento ketika makan siang.
Satu kernyit samar muncul di dahi Sasuke. Momen ini memang tak asing, dan seharusnya semua yang terjadi kabur, tidak jelas, terpotong-potong, layaknya hasil rekaman dari sebuah kamera tua berlensa rusak dan penuh debu. Namun mengalihkan pandang melirik keluar melalui kaca jendela kelasnya yang terletak di lantai dua, Sasuke bahkan menemukan dunianya kali ini sejelas siang.
Ini tidak seperti mimpi buruk.
Ini bukan seperti mimpi.
Memasukkan kembali buku-buku, pensil, serta semua alat tulis miliknya yang berserak di atas meja ke dalam tas, Sasuke bangkit berdiri, lantas bergegas pergi melangkah keluar dari ruang kelas setelah guru memberi izin.
Sasuke menggenggam erat kedua tali ranselnya selagi melewati halaman sekolah yang mulai ramai, kepalanya ditundukkan sedikit, ekspresinya dibuat selurus besi, berupaya menahan diri untuk tidak tertarik dengan sahutan teman-temannya yang mengajak bermain. Sasuke menggigit bibir, tapi bersikap abai membuat dirinya berakhir diteriaki sombong dan tuli. Bocah satu SMP itu bukan bermaksud enggan berbaur, sih, sebenarnya. Hanya saja jika ia pergi bergabung ke sana, ia jelas perlu menanti enam hari lagi guna dapat menjumpai Kamis khusus—yang datangnya saja belum tentu—ini kembali.
"Setiap Kamis. Setiap Kamis di saat ibumu sibuk dan kau barangkali merasa bosan bila sendirian di rumah, Ayah akan menunggu di depan sekolah. Kita pergi bersenang-senang. Ayah akan belikan apa pun yang kaumau. Walau kita sudah tidak tinggal bersama, bukan berarti kau kehilangan status sebagai putra kandung Ayah, bukan?"
Ya, tentu saja. Sasuke mengerti. Ayah itu suka memukul, kaum pemuja kekerasan dalam rumah tangga, kesalahannya kelewat bejat karena diam-diam memiliki anak dari wanita lain, karena itu Ibu menggugat cerai beliau. Namun seperti apa yang pernah dikatakan Ayah, biar bagaimanapun Sasuke adalah orang yang akan terus memegang ketetapan sebagai putra kandungnya. Dan yang jadi masalahnya sekarang, apa Ayah mengingat janji di antara mereka? Apa beliau sungguh datang?
Sasuke mengembuskan napas berat. Menunggu selama kurang lebih tiga puluh menit di trotoar nyaris membuatnya menyerah. Namun terdiam dan memutuskan untuk tak menggerakkan tungkai, Sasuke sontak menolehkan kepala. Terdengar deru mesin dan ia memandang sebuah pick-up chevrolet yang tak dikenalinya perlahan menepi. "Masuklah, Nak," sahut si pengemudi seketika begitu kaca jendela diturunkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fiksi Penggemar[completed] Di balik segaris senyum ringkihnya, di balik setangki sukacita yang semua orang kira amerta, hampir tak ada yang tahu bahwa Sakura Haruno harus hidup terbelenggu oleh tanggung jawab; menghidupi sang putri dan terjebak ke dalam sebuah lab...