Chapter 15

5.8K 672 88
                                    

Dulu, saat dirinya masih berstatus siswa jenjang sekolah dasar, saat Ayah pernah sekali berkata, "Sasori, dan juga kau, Gaara. Jangan jadi berandal. Itu bukan tren yang bagus. Di masa depan nanti, minimal Ayah ingin melihat kalian lulus dan berhasil sebagai alumni sekolah militer."

Sasori pernah menjadikan wejangan tersebut sebagai salah satu titik teratas yang harus ia genggam di suatu saat nanti. Harus. Tidak boleh mengelak. Tidak boleh melanggar. Tepat sehari setelah Ayah berkata demikian, Sasori kecil jadi berubah teramat antusias. Ia bahkan kerap rutin bercerita pada Ibu, adik, serta hampir dari semua teman-temannya di sekitaran rumah mengenai tentang betapa agam dan bijaksana sosok beliau.

Bukan cuma sekadar bangga, tentu saja. Sebagai putra dari seorang kolonel sheriff, jelas ada juga begitu banyak hal yang perlu Sasori reguk dari pengalaman kerja sang ayah agar probabilitas tercapai cita-citanya jadi semakin besar.

Selepas masanya di kelas enam berakhir, Sasori kecil memulai tekadnya dengan melabeli diri menjadi pekerja keras. Anak itu melakoni apa pun jenis kegiatan yang bisa membuatnya lebih mantap dan bersemangat; mengikuti ekstrakurikuler, aktif dalam berbagai kegiatan sosial, membangun relasi, menjaga kualitas diri. Tidak cuma-cuma ia kerap mengubah waktu senggang menjadi waktu belajar, bahkan hingga tenggat tengah malam pada setiap momen sebelum ujian menjelang. Awal tahun Sasori di sekolah menengah pertama diisi dengan begitu banyak warna. Perjuangannya terbayar kontan. Ia menjadi kedua dari yang terdepan dan sukses digemari banyak orang.

Namun, ketika Ibu bilang bahwa semesta bukanlah tempat yang menyediakan kebahagiaan eternal. Juga ketika Ayah menjelma menjadi laki-laki hipokrit yang berakhir meninggalkan rumah tanpa mau lagi menoleh ke belakang—ya, mereka memutuskan bercerai setelah melalui pertikaian hebat yang entah karena alasan spesifik apa—mimpi-mimpi tersebut perlahan pudar.

Banyak sekali menguras angkara, memang. Daripada bertanya yang malah bisa membuat hatinya dirundung kelabu, saat itu Sasori pula berupaya abai, ia lebih memilih memendam kuriositasnya dengan beberapa kali meyakinkan diri bahwa perpisahan bukanlah suatu hal yang bisa membuatnya terus terpapar luka secara berkala. Walau, faktanya ada begitu banyak harapan yang terpenggal. Sebab meski barangkali cerai adalah jalan yang dapat diputuskan oleh kedua orang tuanya dengan begitu mudah, tetapi bagi semua belah pihak, hal tersebut jelas takkan pernah jadi resolusi terbaik yang dapat terbebas dari luapan masalah.

"Nian malang," para tetangganya bilang. "Anak-anak adalah korban pertama dari perceraian"—sebanyak lima kali pada pekan pertama, kalimat tersebut kerap bertandang ke rumah, dari mulut siapa pun begitu hari-hari pasca perceraian merangkak datang. Mereka seolah tidak peduli dengan seberapa sulit ibunya yang kerap terlihat mati-matian menjaga ekspresi. Meski itu tak berlangsung lama. Ibunya piawai membawa diri. Sama seperti Sasori yang juga berlagak apatis dan berpikir dengan begitu keadaan barangkali bisa berubah menjadi lebih baik.

Walau sebenarnya tak mudah. Jelas.

Rumah mereka harus terbagi dua. Saudara kembarnya, Gaara Akasuna; memutuskan untuk pergi dan tinggal sementara dengan sang ayah sampai pengumuman hak asuh pada sidang terakhir dikumandangkan. Suasana sekolah berubah selayaknya neraka. Sayang, SMP yang Sasori pilih tidak ubahnya dengan tempat penampungan setan. Entah semua bermula dari mana, kabar perceraian kedua orang tuanya—yang dibumbui sedikit intrik-intrik menyimpang—sukses merebak di sepenjuru kelas. Keseharian Sasori jadi dipenuhi gunjingan. Pintu loker dan permukaan mejanya kerap ditemukan penuh oleh coretan berisi kalimat-kalimat biadab.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang