Chapter 1O

9.7K 943 171
                                    

"Wanita penjilat, penggoda pria."

Ada sekelumit memori di dalam kepala. Terakhir kali Sakura menemukan dirinya dilempar umpatan lalu berakhir murung semalam suntuk adalah tatkala kafe sedang penuh, dan ia yang kebetulan tengah membawa segelas scotch—secara tak sengaja—tersenggol orang lewat hingga minuman yang tengah dibawa berakhir jatuh setelah mengguyur kaus orang lain, pun dalam satu waktu yang sama, sebuah umpatan langsung melesat, "Dasar, jalang. Apa yang kaulakukan dengan bajuku?!" Secara relflektis, secara langsung.

Namun kalau dulu, Sakura masih bisa menerima tekanan yang dilemparkan dengan beberapa kali coba meyakinkan diri bahwa apa yang terjadi memanglah merupakan atas dasar ketidaksengajaan. Toh ia juga masih percaya dengan pepatah; sekumpulan lebah tidak akan menyerang begitu saja kalau tak ada yang mengganggu. Dan lucunya itu bisa diserupakan dengan; orang lain jelas tidak akan mau repot-repot membenci kalau sedari awal ia tak mengusik.

Dua kali dalam hari yang sama, sementara sekarang, untuk yang kesekian kali, Sakura telah mendapatkan lagi kondisi serupa. Keduanya tidak semata-mata dilesatkan karena sebuah ketidaksengajaan, terlebih Yugao yang telah menamparnya tadi sore memang mempunyai alasan absolut perihal bahwa selama ini sebenarnya siapa yang salah dan siapa yang pantas disalahkan.

Di sisi lain jelas tidak ada alasan lagi bagi Sakura, tidak ada ketidaksengajaan—memangnya apa yang akan ia jelaskan jikalau disuruh beralasan? Mengatakan pada dunia bahwa dosa yang telah dilakukannya semata-mata hanya untuk kesenangan belaka? Menjelaskan pada orang-orang bahwa ia yang pernah bercinta berkali-kali dengan kekasih dari perempuan lain merupakan unsur ketidaksengajaan? Konyol. Itu hanya akan memanifestasikan diri sendiri seperti petarung sinting yang secara suka rela kalah karena menyerah sebelum perang dimulai.

Menyedihkan.

Dan lagi, tidak berakhir seperti dulu, insekuritasnya kini telah kelewat melampaui batas. Umpatan Yugao, Shee, Sasuke yang meninggalkannya di jalanan, serta serentetan kejadian lainnya hari ini benar-benar sukses membuat Sakura seperti sehabis dibidik dengan sepuluh peluru sekaligus tepat di depan kepala. Membuat hancur, membuat pening, tak ada lagi yang dilakukan selain meringkuk getir di atas kasur memeluk tubuh sendiri erat dalam perasaan luar biasa ngeri karena kelebat teror masih terus membekas.

Sakura bahkan sama sekali enggan bangkit paling tidak sekadar untuk menyalakan lampu karena di luar hari sudah lama berubah gelap. Ia masih takut bukan kepalang. Presensi Shee seolah masih menghantui. Mengintai. Tak bisa membiarkan dirinya bisa bernapas tenang barang sedetik.

Sakura sungguh merasa sangat buruk. Semua barangkali akan berlangsung terus seperti ini sampai pagi datang kalau saja ia tak mendengar suara tangisan sang putri yang tadinya tengah tertidur pulas di samping kini mendadak memecah keheningan. Setengah terkesiap, memelankan suara isak tangis sendiri yang sialnya seolah tak mau berhenti, Sakura lantas perlahan perlu bangkit duduk dulu sejenak kemudian menyandar pada kepala ranjang guna meraih tubuh mungil putrinya untuk disusui. Membenarkan kupluk rajut bayinya, mengelus lembut punggung serta sekitaran lengan Sarada, mendekap hangat hingga beberapa menit seraya menunggu Sarada bisa kembali tenang lalu lekas bisa kembali lelap.

Pukul satu dinihari. Gadis itu melirik jam dinding, menahan desahan yang hendak memguar karena tak mau membuat sang putri terusik, Sakura baru mengetahui ternyata waktu sudah berdetak selarut ini. Sudah berapa lama dirinya menangis? Ah, sial. Wajah apalagi matanya pasti akan terlihat sangat sembab dan memerah nanti.

Maka kemudian di sana, kembali menidurkan sang putri secara perlahan ke atas permukaan ranjang, menyelimuti dengan selembar selimut bayi setelah memastikan kalau dia sudah benar-benar kembali tertidur, menyulut sepercik keberanian untuk mengedarkan pandang dan menyalakan lampu di atas nakas, Sakura lantas menyeret tungkainya menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Tetapi sialnya beberapa menit memandang pantulan wajah sendiri di sana ternyata malah kian membuat Sakura digulung takut. Gemericik air yang menyala dari keran sama sekali tak memperbaiki apa pun. Khawatir. Cemas. Gelisah—semua masih terus meradang tanpa ampun.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang