Genap dua minggu sudah di Ohio. Di luar sana matahari sudah lumayan merangkak naik. Sudah sedari tadi Sakura membasuh diri. Namun, mari lihat kini, gadis tersebut agaknya masih betah mengurung diri di dalam kamar dengan tangan masih terus mengeruk-eruk koper seraya mendesah gelisah juga menggigit bibir panik pula frustrasi.
Tak boleh sembarang menuang amarah. Sakura jadi kelimpungan juga. Apalagi kalau mengingat memang dirinya siapa? Bukan tuan rumah. Bukan istri yang punya rumah. Ia bukan siapa-siapa. Ia cuma tamu yang kebetulan tengah numpang menginap karena keadaan terdesak. Tapi tidakkah boleh ia mendecak kesal lantaran lumayan jengkel tatkala mendapati mengapa hampir semua dari potongan pakaian bersihnya di dalam koper lesap?
Sakura menghela napas, berakhir menyerah. Semenjak dini pagi tadi rumah ini terasa berubah bak bentangan cakrawala di siang bolong—membuat panas, gerah, kesal, panik, ingin sekali bersungut-sungut, namun kembali lagi gadis tersebut cuma bisa menatap getir tubuhnya yang masih terbalut handuk.
"Mau mengeringkan pakaian, Nona?" tanya Suigetsu malam tadi.
"Iya, seperti biasa."
Sakura, tidak pernah sekali pun memikirkan insiden konyol ini akan terjadi sebelumnya. Jauh beberapa hari lalu ia sudah bilang pada Sasuke mau meminjam mesin cuci dan dia balas berkata pakailah sesukanya. Namun mengapa malam tadi secara tiba-tiba Suigetsu datang padanya guna melesatkan tawaran, "Kemari, biar saya yang keringkan."
Sakura dibuat tercengang bingung. Baju-bajunya sudah berada dalam mesin. Tinggal satu langkah lagi memutar timer, maka tersenyum tipis, Sakura lebih memilih menggeleng. "Tak perlu."
Namun buru-buru memosisikan tubuh melangkah maju menghalangi mesin pencuci agar si gadis mau menjauh, Suigetsu malah menyela gemas, "Biar saya saja, Nona." Pria tersebut balas tersenyum kikuk. Menumpangkan satu tangannya pada mesin. "Untung-untung agar saya tak dipecat Tuan Uchiha."
"Pecat?" Sakura mengerutkan kening. Terkekeh tak habis pikir. "Mengapa dipecat?"
Turut terkekeh, namun kering, Suigetsu memandang janggal. "Semua majikan akan memecat pekerjanya kalau mereka malah membiarkan seorang tamu mencuci pakaian sendiri, bukan?"
Iya, mungkin? Mengingat Suigetsu berkeras ingin mengambil alih pekerjaannya, Sakura juga sempat berpikir demikian semalam. Jadi setelah tawaran tersebut dilesatkan, tak mau ambil pusing, malam tadi Sakura memutuskan kembali beranjak menuju kamar, sempat mengecek koper dan agak khawatir lantaran baru menyadari kalau Sasuke ternyata tak banyak membawa persediaan. Pakaian bersih mereka sudah hampir lindap.
Seharusnya hal tersebut tak perlu sampai dipikirkan larut kalau saja Sakura tak menemukan di pagi harinya ia malah mendapati janji Suigetsu semalam ternyata cuma bualan semata. Sakura hampir dibuat kehilangan akal saat Suigetsu—dengan wajah super panik—datang terburu-buru padanya dan mengaku telah lupa dan malah membiarkan semua pakaiannya masih teronggok kotor dan berbau apak di dalam mesin cuci.
Sakura jengkel. Bukan pada Sui. Melainkan pada dirinya sendiri; yang tak dulu mempertimbangkan bahwa ini bisa saja terjadi, serta ia yang main menyerahkan pekerjaan pada orang lain di saat ia masih bisa melakukannya sendiri.
Terlebih sekarang, mengerjap, bernapas berat, Sakura mendengar suara ketukan yang mulanya pelan pada pintu malah berubah beruntun bak sebuah panggilan krusial, membuat ia sukses menggigit bibir menahan gemas. Mau tak mau segera ia sambar kemeja katun milik Sasuke yang sempat pemuda tersebut tawarkan padanya beberapa saat lalu guna buru-buru dikenakan karena tak mau lagi memakan waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fiksi Penggemar[completed] Di balik segaris senyum ringkihnya, di balik setangki sukacita yang semua orang kira amerta, hampir tak ada yang tahu bahwa Sakura Haruno harus hidup terbelenggu oleh tanggung jawab; menghidupi sang putri dan terjebak ke dalam sebuah lab...