"Kau terlihat seperti robot ringsek dari tempat pembuangan limbah pabrik otomotif yang kupungut untuk diperbarui ulang. Mengerikan."
Adalah kalimat pertama yang Sasuke dengar ketika kehidupan mulai merengkuhnya kembali. Kepalanya luar biasa pusing, tubuhnya dibalut nyeri di sana-sini, punggungnya seperti baru saja terlindas alat berat. Sebenarnya, apa yang baru saja terjadi? Pikir Sasuke seraya membuka mata perlahan-lahan. Pria tersebut mendesis samar tatkala pendar lampu yang menyorot dari langit-langit membuat pandangannya jadi tak nyaman dan semakin buram. Sementara di sisi kanan, ia dapat mendengar seseorang kembali berkata, "Kau terlihat sekarat."
Sasuke sempat bertanya-tanya apakah suara yang masih terdengar kurang jelas tersebut berasal dari malaikat maut atau iblis yang tengah kegirangan karena hendak mendapat kawan baru di neraka? Namun sepenuhnya tersadar setelah berpikir kerak neraka jelas tidak akan beraroma obat-obatan dan menyediakan bangsal serta bantal senyaman ini, Sasuke mendengkus kecil.
Matanya yang masih terasa buram bergulir melirik punggung tangannya yang sudah dipasang infus, tersambung pada selang IV. Sasuke berbisik serak, "Kuharap juga begitu."
Orang di sampingnya mengembuskan satu hela napas jengah. Kali ini lebih jelas. "Yah, kuharap setelah mati nanti kau takkan melupakan pinggangku yang sakit serta jasaku yang telah membopong tubuh bajamu keluar dari kamar."
Sasuke memicingkan pandang. Kedua kelopak matanya dibuka lebih lebar. Ia memerlukan waktu setidaknya beberapa puluh menit untuk mengumpulkan nyawa serta stabilitas pikiran sebelum lantas beringsut duduk, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, dan memandang Sasori yang kini sudah terduduk pada kursi di sampingnya—yang ternyata si pembesuk itu—dengan dahi berkerut heran. "Kau?" bisik Sasuke serak, tak percaya. "Kau ... yang menemukanku? Bagaimana bisa?"
Sama sekali tak berniat melarang bahkan membantu Sasuke yang tampak kepayahan mengubah posisi, si Akasuna berongkang congkak, menyilangkan tangannya di depan dada. "Bagaimana? Sakit, bukan? Lebam di sudut kanan bibirmu," katanya yang membuat dahi Sasuke kian berkerut. "Sakura tak sengaja mengantongi cardlock hotel yang kausewa, dia juga meneleponku dan mengaku menyesal karena telah meninjumu, dia mengkhawatirkanmu setengah mati karena setelah itu kau tidak lagi tampak keluar kamar bahkan hampir seharian, terlebih kau pula mengabaikan panggilan dari housekeeping."
Sasuke meremat selimutnya erat, menggulirkan pusat atensinya lambat ke lain arah. Merasakan jantung sontak bertalu, pria itu membeku. Dia ... mengkhawatirkanku? Sakura mengkhawatirkan pendosa menjijikkan sepertinya? Apa yang salah? Apa kejadian itu, persetubuhan itu, tidak sungguh terjadi? Sasuke mengedip kaku. "Aku di sana? Seharian?"
Sasori mengangguk-angguk santai. "Aku juga bingung mengapa kau belum mati."
Sasuke mendesah pelan, kembali melirik Sasori sengit dan menghela napas. "Kau boleh pulang kalau tidak tulus membantu."
Alih-alih meminta maaf sebab kelakar gelapnya berakhir juga membuat Sasuke tersulut, Sasori memandang Sasuke datar. "Tulus atau tidak pun toh kau sudah ada di sini, ya, Einstein. Terlambat mengatakannya. Kau bahkan sudah sadar. Setidaknya bersyukurlah sedikit karena kau tidak sadar di dalam peti mati."
Sasuke mendecih.
Sasori mendecakkan lidah. "Tsk. Dasar tidak tahu terima kasih."
"Kau ingin aku mengatakannya?"
"Menggelikan."
Well, itu memang agak menggelikan. Namun diam-diam mengulum senyum tipis dan berusaha untuk tak terbahak geli, Sasuke tetap berujar, "Terima kasih," katanya. Mengedarkan pandang pada sepenjuru ruang, lalu bertanya ragu, "Sakura ... di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Fanfiction[completed] Di balik segaris senyum ringkihnya, di balik setangki sukacita yang semua orang kira amerta, hampir tak ada yang tahu bahwa Sakura Haruno harus hidup terbelenggu oleh tanggung jawab; menghidupi sang putri dan terjebak ke dalam sebuah lab...