fairy land

9.9K 567 0
                                    

SISI

"Sisi. Bangun my dear. Kita hampir sampai.", sebuah suara dan tepukan lembut di bahuku membangunkan aku dari tidurku.

Aku mengerjapkan mataku dan melihat bus yang kami tumpangi telah kosong. Galeo dan Ulysia, orangtuaku berdiri di lorong bus, menantiku beranjak dari kursiku. Aku mengangkat tubuhku mengikuti mereka melangkah keluar bus. Aku menatap sekelilingku. Asing.

Bus itu menutup pintunya, satu klakson rendah dan kemudian bus itu melesat menghilang. Jujur saja aku tak memperhatikan bus apa yang kunaiki. Apapun yang dilakukan Galeo dan Ulysia, aku hanya mengikutinya saja. Di depanku terhampar lapangan berumput liar dengan pohon-pohon yang luar biasa besar menjulang. Daunnya yang lebat membuat lapangan itu tampak sedikit gelap, hanya bias cahaya matahari dari celah dedaunan yang menerangi.

Galeo dan Ulysia melangkahkan kaki mereka kesana. Ke tempat gelap itu. Aku sedikit ragu dan takut. Ulysia menoleh padaku, menganggukkan kepalanya meyakinkanku. Entah kenapa sedetik kemudian kakiku terasa ringan dan aku sudah melangkah di belakang mereka memasuki hutan.

Kami berjalan melewati sepasang pohon yang paling besar. Kemudian Galeo menjentikkan jarinya dan tiba-tiba koperku yang berada di tangannya sudah melayang sekitar sepuluh senti diatas rumput yang basah karena hujan. Aku menganga terkejut. Ulysia menyadari keterkejutanku. Tangannya merangkul bahuku dan kami berjalan semakin ke dalam hutan.

Tak jauh dari situ aku mendengar suara air yang sangat deras, aku menoleh dan melihat air terjun yang sangat indah namun tampak tak terawat. Airnya begitu jernih. Galeo menunjuk jauh ke sisi air terjun, ke arah lembah yang berbatu. Aku melihat pelangi melengkung cantik di sana. Ujungnya menyentuh bebatuan terendah di sisi air terjun, ujung satunya lagi menghilang tertutup awan rendah di puncak ait terjun. Kami berjalan mendekatinya.

Anehnya pelangi itu masih tampak jelas di hadapanku. Seperti permadani berwarna-warni yang melengkung cantik dari langit sampai ke bumi. Galeo melangkahkan kakinya ke atas permadani pelangi itu, seolah ada tangga tak kasat mata yang akan menopangnya. Ulysia pun menuntunku melakukan hal yang sama. Ini sungguh luar biasa dan aku masih tak percaya. Aku terbelalak dan mataku sibuk menyapu pemandangan sekitar sambil terus melangkahkan kakiku mengikuti Galeo terus naik entah kemana.

Sebuah cahaya terang membias di hadapan kami, melengkung seperti pintu gerbang besar yang membuka di langit. Kami berhenti tepat didepannya, Galeo menatap garbang itu, sedetik kemudian sepasang sayap putih besar melengkung dengan gagah di punggungnya. Aku memekik pelan. Galeo menoleh pada Ulysia di sebelahku. Ulysia mengangguk pelan, aku merasakan sesuatu mengibas dan aku menoleh kaget pada sepasang sayap cantik di punggungnya.

"Sekarang giliranmu.", kata Ulysia padaku. Aku menoleh meyakinkan diriku, bahwa ia benar-benar bicara padaku. Aku menatapnya bingung.

Ulysia tersenyum, tangannya masih merangkul bahuku. Ia melirik gelang kristal yang melingkar di tanganku. Aku menyentuh bandul sayap itu perlahan, pikiranku melayang pada Bunda yang memakaikan gelang itu sebelum aku pergi. Tiba-tiba tubuhku bergetar pelan, aku merasakan rambutku tersibak oleh sesuatu di belakangku. Aku menoleh. Sepasang sayap putih berbulu yang cantik melengkung indah di punggungku. Sesuatu yang tak bisa kujelaskan mengaliri seluruh tubuhku, rasa nyaman, rasa bahagia, aku tak tahu mengapa tetapi hal itu membuatku menyunggingkan senyum tipis di wajahku.

Galeo dan Ulysia bertukar pandang singkat. Lalu kami melangkah menuju cahaya terang di depan kami. Melangkah melewatinya. Angin sejuk menghembus menyapu wajahku, membelai lembut rambutku. Cahaya menyilaukan itu pun terlewati, hamparan rumput hijau memanjakan mataku. Pemandangan yang tak jauh beda dengan padang rumput di bumi. Beberapa pohon apel berbuah lebat berbaris rapi di sisi pendaran cahaya itu.

nightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang