i love the way you laugh

6.7K 463 1
                                    

SISI

Aku melambaikan tanganku pada Jess, Lisa, dan Killa. Membalikkan tubuhku dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan mereka. Mereka akan menuju kelas selanjutnya, kelas creatures. Sebetulnya akulah yang membutuhkan sebanyak mungkin jam pelajaran itu, mengingat aku bukan hanya anak baru di sekolah ini, tapi juga di negeri ini. Nightingale.

Tetapi sesuatu membuatku yakin aku harus menghampiri Digo. Aku tak menjelaskan secara rinci pada Jess, Lisa, ataupun Killa. Aku hanya berpamitan untuk kembali ke asrama, 'ada sesuatu yang harus gue lakuin', kataku pada mereka. Mereka pun tak banyak bertanya hanya menatapku bingung.

Aku melangkah ringan menyusuri lorong. Aku teringat kejadian di kelas flora dan fauna tadi. Digo berdiri di sebelahku dengan pot lavender di depannya. Dia menatap sinis ke pot milikku dan mencibir. Ilona, guru flora dan fauna kami meminta kami melakukan apapun yang kami mampu pada bibit tanaman yang kami miliki. Jujur saja aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.

Digo mengayunkan tangannya, ke arah potnya. Aku menanti apa yang akan terjadi. Tapi pot dan bibit itu bergeming. Digo melakukannya lagi dan lagi hingga ia tampak kesal dan akhirnya pot itu pecah setelah ia mengayunkan tangannya terakhir kali, diikuti suara 'puff' pelan dan bibit lavender itu terbakar begitu saja menjadi debu.

Susah payah aku menahan tawaku, namun Digo menyadarinya. Ia memalingkan wajahnya ke arahku, lalu mengedikkan dagunya ke arah pot berisi bibit bunga matahari milikku. Aku berdeham. Aku merasakan sayap putihku muncul begitu saja dan mengepak lembut di punggungku. Aku tak tahu mengapa, namun aku memejamkan mataku, membayangkan matahari yang cerah menyinari potku. Aku melambaikan tanganku perlahan seolah aku menyiraminya dengan air.

Aku mendengar tepukan rendah dari sekitarku. Aku membuka mataku dan bibit itu kini memiliki batang seukuran tiga senti menyembul di permukaan tanahnya. Aku sendiri terpana menatapnya. Digo hanya melirik aku dan potku dengan sinis sambil mendengus kesal. Aku memamerkan senyum kemenanganku yang termanis padanya.

Tak kusadari aku berjalan sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku menepuk lembut dahiku. Mengingatkan diriku sendiri bahwa aku sedang mencari ruang penyimpanan bawah tanah. Aku melihat-lihat sekitarku memastikan aku masih berjalan di lorong yang benar.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri di sepanjang lorong, mencari pintu besi yang dikatakan oleh Killa. Aku berhenti tepat di deoan sebuah pintu yang berukuran sangat besar, terbuat dari besi kokoh yang justru tampak seperti brankas dan bukan sebuah pintu. Aku melangkah mendekat dan menyentuh pegangan pintu kuningan yang membuat tanganku tampak sangat kecil. Pintu itu membuka ke dalam dengan sendirinya tanpa aku mendorongnya.

Aku tercekat melihat tangga yang mengarah jauh ke bawah. Aku mengintip ke bawah, aku tak melihat ujungnya. Hanya cahaya remang dari obor-obor di sepanjang dinding yang menerangi tangga itu. Ada rasa takut yang menelusup dalam dadaku. Aku merasakan sayapku mengepak lemah di belakangku. Ia muncul begitu saja, mungkin karena rasa takutku, aku menebak.

Aku kembali memalingkan wajahku ke tangga. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa tak ada yang perlu aku takuti. Kalau memang ada sesuatu yang menakutkan atau berbahaya, tak mungkin mereka menyimpannya di sekolah, pikirku. Aku melangkahkan kakiku menjejak satu demi satu anak tangga yang mengarah turun ke bawah. Anak tangga itu membentuk sebuah tangga melingkar. Aku menghela napas lega saat aku menjejakkan kakiku di ujung tangga.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Aku melihat rak-rak tinggi menjulang sejauh mataku memandang. Sebagian lagi adalah lemari-lemari dan laci berukuran superbesar yang berdampingan memenuhi ruangan. Sekilas aku teringat perpustakaan. Hanya saja rak dan lemari itu tidak hanya dipenuhi buku-buku tetapi berbagai barang yang aneh dan tak kukenal lengkap dengan debu tebal di permukaannya.

nightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang