obstacles II

4.7K 381 8
                                    

DIGO

"ITU TIDAK MUNGKIN!!!", teriakku penuh amarah.

Aku menatap Elea penuh amarah. Aku tidak peduli lagi pada apapun. Hiro harus dapat balasannya karena ia telah mencelakai Sisi. Bagaimana mungkin justru aku yang mendapat hukuman, membersihkan rumput di kelas flora dan fauna.

"Digo. Aku sudah bilang. Kata-katamu itu tidak ada buktinya. Aku tidak bisa menjatuhkan hukuman tanpa alasan yang jelas.", kata Elea padaku. Ia terlihat marah padaku tetapi ia tetap berusaha berbicara dengan baik.

"Aku sudah menceritakan semuanya padamu Elea. Dia ada di sana, di ruang makan. Tak jauh dari Sisi. Aku yakin dia yang melakukannya. Dia selalu mencari cara untuk membuatku kesal, Elea. Dia ingin aku seperti Diaz. Sekarang dia melakukannya melalui Sisi. Itu keterlaluan!", aku berbicara panjang lebar. Menahan emosiku, berusaha semampuku untuk menjelaskan kejadiannya.

"Sudahlah Digo. Aku sudah bilang padamu, jangan memperparah keadaan. Sisi sudah keluar dari rumah sakit. Lebih baik kamu lakukan hal lain yang lebih penting.", kata Elea.

"Baik. Akan aku tunjukkan hal penting yang bisa kulakukan.", jawabku dengan datar namun penuh penekanan.

Aku beranjak berdiri dan tanpa sepatah katapun aku melangkah keluar meninggalkan Elea yang menatapku penuh rasa khawatir di ruangannya. Aku melangkah cepat menyusuri lorong kelas yang panjang dan seperti tanpa ujung. Berbagai hal memenuhi pikiranku membuatku berjalan dengan tatapan kosong. Seseorang menghampiriku, membuatku terkejut.

"Hei, Digo!", teriaknya, menyadarkanku dari lamunanku.

Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi menunduk menatap lantai batu gedung kelas. Aku mendapati Sisi berdiri di ambang pintu ruang makan. Ia melambaikan tangannya padaku. Seketika rasa marah dan kesalku lenyap entah kemana. Aku merasakan sesuatu yang hangat dan nyaman itu kembali menelusup melalui setiap jengkal darah dan setiap hirupan napasku. Aku tersenyum begitu melihatnya. Aku melangkah cepat ke arahnya.

"Hei. Kamu ngapain di sini?", tanyaku padanya penuh perhatian. Aku lihat wajahnya masih sedikit pucat.

"Aku cari kamu.", katanya singkat disertai senyum simpulnya yang manis.

"Kamu masih sakit? Kenapa kesini?", tanyaku lagi.

"Aku bosen, Digo. Ngga ada kamu. Kamu kemana sih?", ia memasang wajah cemberut yang kurindukan.

"Kemaren kan udah ketemu di rumah sakit.", jawabku lembut. Aku terkejut sendiri mendengar nada bicaraku yang tidak biasanya itu.

"Cuma sebentar. Itu juga kamu keliatan kecapekan. Kamu ngapain sih kemaren?", kata Sisi padaku.

Aku menyembunyikan hukuman merapikan rumput itu darinya. Sisi tidak boleh tahu aku mencekik vampir sok jagoan itu sampai hampir mati.

"Hei. Kok bengong?", suara Sisi menyadarkan aku lagi.

"Eh, ngga. Ngga kok. Iya maaf ya, aku kecapekan kemaren. Yaudah yuk makan. Kamu yakin ngga mau makan di kamar?", kataku cepat.

Sisi menatapku curiga, aku memang pembohong yang buruk, pikirku dalam hati. Namun Sisi sepertinya tidak mau membahasnya, ia menoleh ke arah ruang makan.

"Aku mau makan sama kamu.", katanya manja, membuat sesuatu dalam diriku bergejolak gemas melihatnya dan aku tidak bisa menolaknya.

"Oke. Oke. Yuk.", kataku pelan.

Aku menggandeng tangannya menuju ruang makan. Saat kami melangkah masuk ke ruang makan, aku merasakan banyak mata memandang kami. Aku menarik tanganku, berusaha melepas pegangan tangan kami. Aku tak tahu, tapi sesuatu dalam diriku berkata, mereka akan menilaiku buruk. Aku yang temperamen seperti ini dengan Sisi peri lembut yang ceria dan baik hati? Mereka pasti berpikir aku memperalat Sisi.

nightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang