hell week I

4.1K 364 7
                                        

SISI

Aku berlari meninggalkannya berdiri mematung di dalam kelas. Aku mendengar Digo memanggil namaku, namun aku tak menggubrisnya. Aku terus berlari dengan berderai air mata, sampai aku tiba di balkon perpustakaan yang sepi. Aku mengepakkan sayapku perlahan dan mendaratkan tubuhku terduduk di pagar balkon. Aku membenamkan wajahku ke telapak tanganku, menangis sejadi-jadinya.

Aku teringat kejadian di kelas pertahanan dan pengendalian diri tadi. Digo begitu menyeramkan. Aku paham betul ia pasti kesal pada Hiro. Tetapi ia tak perlu seperti itu. Sesuatu dalam dirinya meledak dan mendominasi dirinya. Ia tak seperti Digo yang ku kenal. Ia membiarkan demon dalam dirinya menguasainya. Seharusnya ia yang menguasai demon itu.

Aku memandang langit sore itu dengan terisak. Digo, apa yang aku harus lakukan? Pikirku dalam hati. Kamu harus berhenti meladeni Hiro, dia tidak penting Digo. Kalau kamu begini terus, kamu bisa mendapat kesulitan, atau bahkan kita akan berada dalam kesulitan, Digo. Kataku dalam hati. Aku kembali terisak.

"KREKK!", aku mendengar suara pintu kaca terbuka.

Aku menoleh sambil menyeka air mataku. Itu Digo. Aku melihatnya berjalan gontai ke arahku. Sayap hitamnya menggantung lemah di punggungnya. Ia menatapku sedih dan penuh rasa bersalah. Ada rasa iba dalam hatiku. Tetapi aku tak tahu, rasa kecewaku mengalahkan segalanya. Ia menghampiriku yang kini berdiri membelakangi pagar balkon. Aku melangkahkan kakiku ke arah pintu kaca, aku ingin menghindarinya saja untuk saat ini, pikirku.

Aku melangkah melewatinya, namun aku merasakan tangan Digo menggapai lenganku. Membuat langkahku terhenti. Ia menarik tanganku, memaksaku berdiri menatapnya. Aku hanya menatap bahunya menghindari tatapannya yang dalam.

"Si...", katanya lirih. Ia mengangkat daguku, memaksaku menatap matanya.

Aku melihat kesedihan disana, bahkan aku bisa melihat penyesalan. Tetapi aku tetap bergeming. Tangannya menggenggam kedua tanganku di depan dadanya. Ia menghela napas frustasi.

"Aku minta maaf. Aku salah.", aku mendengarnya berkata lemah.

"Udahlah, Digo. Aku ngga mau bahas ini sekarang.", kataku datar.

"Maafin aku 'Si.", katanya lagi.

"Aku ngga tau lagi ya, Digo. Aku takut liat kamu kayak tadi. Kamu bukan Digo yang aku kenal. Kamu bakal nyelakain diri kamu sendiri.", kataku pelan tetapi penuh penekanan karena emosi yang kutahan.

"Aku tau. Aku tau, 'Si. Aku minta maaf.", katanya lagi.

"Aku rasa, aku perlu waktu. Kamu juga perlu waktu. Banyak yang bisa kamu lakuin untuk perbaiki semuanya. Aku juga. Nanti kita bicara lagi soal ini.", kataku lagi.

"Kamu mau pergi dari aku 'Si?", tanyanya dengan tatapan yang menusuk hatiku. Aku menggeleng pelan.

"Ngga Digo. Aku ngga pernah kemana-mana. Aku cuma kecewa sama kamu. Kamu bisa nyelakain diri kamu sendiri tadi, dan kamu mau liat aku menderita karena terjadi sesuatu sama kamu? Nggak Digo! Aku ngga mau kamu kenapa-kenapa. Aku mau kita sama-sama. Untuk itu banyak yang harus kita selesaikan. Termasuk urusan Hiro.", jelasku panjang lebar.

"Hiro yang mulai duluan. Kamu tau sendiri kan, dia ngga pernah puas. Dia selalu cari gara-gara sama aku.", kata Digo mulai emosi.

"Cukup, Digo. Aku tau semuanya. Aku ngerti semuanya. Tapi ada banyak cara ngadepin Hiro. Ngga harus seperti ini. Ini artinya dia berhasil buat kamu menderita. Kamu masuk perangkapnya, Digo. Dia berhasil bikin kamu kelihatan nyelakain dia.", kataku pelan. Aku tak ingin memancing emosinya dengan emosiku juga. Ia menatapku masih dengan tatapan penuh sesal.

"Aku perlu waktu Digo. Banyak hal yang harus aku perbaiki. Kamu juga Digo.", kataku sambil menarik tanganku lepas dari genggamannya.

Dadaku sesak. Ada air mata yang menggenang di kelopak mata ku saat aku harus berlalu menatap wajahnya yang kecewa. Tetapi aku lakukan ini untuknya. Semuanya aku lakukan untuk kamu Digo, kataku dalam hati.

nightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang