DIGO
Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Melirik Theo yang tenggelam dibalik buku tebalnya. Aku melepas jaketku dan merebahkan diriku di ranjang. Tubuhku basah oleh peluh. Ini hari ketigaku menjalani hukuman dari Elea. Aku menyambar lembar jadwal hukumanku di meja. Melihat empat hari tersisa untuk hukumanku minggu ini. Tidak ada kelas untukku hanya hukuman yang harus kujalani.
Hari ini hanya menemani Marcus di perpustakaan. Aku pikir takkan terlalu berat. Ternyata Marcus memanfaatkan keberadaanku untuk menata ulang buku-buku di seluruh rak di perpustakaan. Tubuhku rasanya hampir rontok. Aku menatap langit-langit kamar, mengumpulkan tenaga untuk beranjak mandi dan bersih-bersih sebelum makan malam.
Wajah Sisi muncul di benakku. Berkali-kali aku berusaha mengajaknya bicara. Aku melempar kertas ke dalam kelas saat aku membersihkan halaman di hari pertama. Namun Sisi hanya membacanya, bahkan ia tak menoleh padaku yang memandangnya melalui jendela kelas. Hari ini lebih parah lagi, ia beranjak pergi saat aku hendak mengajaknya berbicara di ruang makan. Sesuatu yang dingin menelusupi diriku. Rasa sepi dan sendirian itu kembali hinggap. Sisi, maafkan aku, kataku dalam hati.
"Ehm.", aku menoleh mendengar Theo berdeham. Ia menurunkan bukunya dan menatapku lekat.
"Lo pasti masuk kepala gue lagi.", omelku singkat.
"Ngga kok. Gue cuma mau bilang. Lo harus hati-hati. Ngga semua orang bisa lo percaya. Lo harus kasih tau Sisi juga.", katanya padaku.
"Maksud lo?", tanyaku bingung.
"Ngga ada maksud apa-apa. Lo harus inget, sifat lembut Sisi ngga boleh bikin lo lengah. Lo harus bisa bedain mana kawan, mana lawan.", katanya lagi. Lalu kembali tenggelam dalam buku bacaannya.
Aku berusaha memahami kata-kata Theo dengan baik. Mana kawan, mana lawan? Apa maksudnya? Aku bertanya dalam hati, memandangi cover buku Theo yang menghadap ke arahku. Kenapa Theo tidak bicara saja kalau ia memang tahu sesuatu, pikirku. Aku berdecak lemah, beranjak ke kamar mandi. Waktu makan malam akan segera tiba. Aku harus makan, aku kelaparan. Siapa tahu aku bisa bertemu Sisi. Ah, aku rindu sekali padanya.
------------------------------------------------------
Aku melangkah masuk ke ruang makan. Kali ini aku bersama Theo. Aku yakin ada sesuatu yang diketahuinya, tapi ia tak mau bicara langsung. Mungkin dengan berusaha terus bersama Theo, dia akan menceritakannya padaku, pikirku. Aku menyapu seluruh ruang makan dengan pandanganku. Aku melihat Lisa, Jess, dan Tasya di salah satu sisi meja. Aku tidak melihat Sisi. Ada rasa khawatir yang hinggap. Aku berjalan cepat menghampiri mereka. Aku dan Theo duduk di depan mereka.
"Sisi mana?", tanyaku tanpa basa-basi.
"Di kamar. Sisi sakit. Tadi dia pingsan di tangga lobby asrama.", jawab Lisa datar.
"APA? Terus gimana keadaannya? Dia udah makan?", tanyaku khawatir.
Sisi. Kamu kenapa? Kenapa sampai pingsan dan sakit? Sisi tolong jangan buat aku khawatir, pikirku. Aku mengedarkan pandanganku mencari peri makan yang kukenal. Melambai padanya dan membisikkan pesanku padanya. Peri makan itu tersenyum dan menjentikan jarinya, memberi isyarat bahwa itu hal yabg mudah. Berkali-kali aku berterimakasih padanya.
Aku kembali memandang Jess, Lisa dan Tasya yang ternyata sedang menatapku.
"Ya ampun! Cinta emang mengubah segalanya yaa. Lo bisa sweet juga ya Digo.", komentar Tasya si wizard kaku. Aku tak menjawab kata-katanya.
"Gue minta maaf kalo lo pikir, Sisi sakit karena gue. Gue minta maaf. Gue ngga tau harus gimana. Sisi marah sama gue.", kataku sambil menatap Lisa lekat-lekat. Lisa jelas menampakkan kekesalannya padaku melalui jawabannya yang datar tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
nightingale
Fantasyselama ini sisi menjalani hidupnya sebagai manusia biasa. ia menyelesaikan SMA nya sebagai seorang gadis biasa. hingga pada usia 18 tahun, kedua orang tuanya mengatakan sesuatu yang membuatnya terkejut. sisi adalah seorang peri! gawatnya lagi, sisi...