demon

7.6K 520 0
                                    

DIGO

"APA MAKSUD LO?", aku tak sanggup lagi menahan emosiku. Aku renggut bagian depan jubah hitamnya dengan tangan kananku.

Vampir itu tampak kesal tapi tidak membalas. Ia hanya menunjukkan senyum liciknya. Aku merasakan mataku panas. Pastilah saat ini mataku berubah warna menjadi merah. Sayap hitamku pun pasti telah mengembang tinggi dan menakutkan. Aku bisa melihatnya dari ekspresi sekelompok gadis peri yang menatapku ketakutan di pojok ruang kelas. Tanganku mulai membara. Aku melepas peganganku dari jubah vampir itu. Ia hampir jatuh terjerembab. Aku hanya sempat menatap sekilas ke arah lorong di belakangku. Emery dan Silva, dua dari sekian banyak guru di sekolah datang menghampiriku.

Aku bergegas lari menjauhi lorong. Berlari terus hingga aku tiba di balik gerbang sekolah. Aku mengembangka  sayap hitamku, mengepakkanya dengan keras dan sekejap saja aku sudah berada di balik pagar Nightingale Academy. Aku kembali berlari menuju ke dalam hutan. Mengepakkan sayapku lagi, hanya akan menambah masalah. Sekolah akan menemukanku dengan mudah, karena sayap hitam seperti ini hanya aku yang memiliki. Paling tidak hanya keluargaku yang memilikinya. Sekolah itu benar-benar memuakkan. Aku berlari tanpa menoleh ke belakang lagi.

Aku terduduk di balik salah satu pohon apel yang berbaris rapi di dekat pintu gerbang nightingale. Napasku tersengal. Akhirnya aku berhasil kabur lagi dari sekolah sial itu. Bergaul dengan makhluk-makhluk aneh itu sungguh mengganggu. Apalagi vampir tukang cari masalah itu benar-benar membuatku marah hari ini. Sekolah yang menyebalkan.

Aku menyandarkan kepalaku di batang pohon yang kokoh. Memejamkan mataku sejenak sebelum aku terkesiap melihat kilau cahaya dari garis horizon. Seseorang telah melewati gerbang nightingale. Aku memicingkan mataku berusaha melihat siapa yang datang. Ternyata bukan hanya satu, tetapi ada tiga. Dua adalah peri. Tidak. Ketiganya adalah peri. Tetapi siapa peri kecil itu? Belum pernah aku lihat sebelumnya.

"Digo? Apa yang kamu lakukan di sini?", tanya salah satu dari mereka. Mereka berhenti di depanku. Aku mengenali Ulysia yang bertanya padaku.

"Hm. Oh. Ini. Bukan apa-apa.", jawabku bingung.

"Kamu bolos lagi Digo?", tanya Galeo, suami Ulysia. Aku hanya terdiam.

Gadis peri itu hanya menatapku bingung. Ia mungkin tidak mengerti apa yang dikatakan Ulysia dan Galeo padaku. Tapi, ah, kenapa dia menatapku seperti itu?

"Digo, ayo kembali ke sekolah. Elea pasti bingung mencari kamu.", kata Galeo lagi.

Aku hanya bisa mengangguk lemah. Aku membalikkan tubuhku dan berjalan menjauhi mereka. Seolah menuju kembali ke sekolah sambil memikirkan rencana selanjutnya agar aku tak perlu kembali ke sekolah aneh itu. Aku menoleh ke arah gadis itu sekilas, lalu kembali berjalan menjauhi mereka. Mereka pun melangkah menjauhiku. Mereka mengarah ke nightingale. Mungkin Galeo dan Ulysia akan pulang, tapi siapa gadis peri itu?

Aku menatap langit yang gelap. Mungkin dewa langit sedang marah. Aku tak tahu pasti. Aku lantas mengembangkan sayap hitamku dan mengepakkannya keras, melesat kembali ke sekolah sial itu. Nightingale Academy.

------------------------------------------------------

Aku mulai mual mencium aroma bunga yang menyeruak dari dalam botol kristal di ujung ruangan. Aku memaksa wajahku untuk terlihat datar dan biasa saja. Elea, kepala sekolahku tampak sangat murka. Ia menatapku penuh selidik dari kursi megahnya. Aku hanya duduk terdiam menatap kosong ke meja kerjanya di depanku.

"Jadi, Digo. Apa yang bisa membuatmu berhenti berulah di sekolah?", katanya kembali membuka pembicaraan.

"Aku tidak melakukan apa-apa, Elea. Vampir itu yang memulainya. Aku hanya tidak suka mereka membawa-bawa orangtuaku. Mengejek mereka.", jawabku tidak terima. Aku merasakan gejolak panas mengaliri tubuhku. Tidak, Digo. Tahan. Jangan meledak di sini, kataku dalam hati. Aku menggenggam erat lengan kursi, menahan amarahku.

"Semua ini tentang pengendalian emosi, Digo. Itu kenapa kamu ada di sini. Kamu harus belajar mengendalikan emosi kamu sebelum kamu bisa mengendalikan kekuatan kamu.", kata Elea. Aku terdiam. Berusaha mencerna kata-kata Elea. Aku berusaha menahan emosiku lebih tepatnya.

"Jangan sampai kamu berakhir seperti Diaz, Digo. Kamu harapan Gothio dan Diva satu-satunya sekarang.", kata Elea lagi.

Aku hanya diam. Gejolak panas itu menghilang entah kemana. Pikiranku melayang. Wajah Diaz, kakak laki-lakiku satu-satunya melintas di hadapanku, berganti bayangan Gothio, ayahku yang memeluk Diva, ibuku yang sedang menangisi Diaz yang diambil sepasang sayapnya dan dilempar ke bumi. Aku saat itu masih sangat kecil, aku tak tahu apa yang terjadi pada Diaz atau apa yang telah dilakukannya. Yang aku tahu, sejak hari itu aku tak lagi punya kakak laki-laki. Aku hanya sendiri.

"Digo?", suara Elea menarik kesadaranku kembali. Aku terkesiap.

"Kembali ke asramamu.", lanjut Elea singkat, lalu menyandarkan dirinya ke sandaran kursi tingginya.

Aku hanya mengangguk pelan. Aku beranjak meninggalkan ruangan kepala sekolah. Menyusuri lorong, menaiki beratus-ratus anak tangga melingkar menuju asrama anak laki-laki. Aku melintasi lobby asrama yang kini kosong. Lalu berhenti di depan pintu kayu berpelitur, memutar pegangannya dan melangkah masuk. Aku mendapati Theo vampir pendiam yang sekamar denganku, sibuk membolak-balik bukunya. Aku menutup pintu, menghenyakkan tubuhku di ranjang besar yang hangat dan nyaman itu. Hari ini sungguh melelahkan.

------------------------------------------------------

Pagi ini lorong kelas begitu ramai. Perempuan dan laki-laki berjubah berjalan cepat di sepanjang lorong. Aku melangkah masuk ke kelas. Mata pelajaran pertamaku adalah creatures. Hal yang membosankan dari pelajaran ini adalah harus mempelajari makhluk-makhluk yang sebenarnya sudah ditemui sejak kecil. Sama saja dengan mempelajari bahasa yang sejak kecil sudah dipakai. Membosankan.

Aku memilih kursi paling pojok belakang. Beberapa anak lain memasuki kelas hingga akhirnya Emery, guru mata pelajaran creatures itu masuk ke dalam kelas. Ia mengangkat tangannya tinggi, membuat pintu kayu itu menutup dengan suara berdebam.

Emery berdiri membelakangi papan tulis. Ia meletakkan beberapa buku di atas mejanya. Ia menarik pengikat jubahnya, melepaskannya dan meletakkannya di sandaran kursi. Tampaklah gaun satin biru laut yang berkilau membalut tubuhnya. Belum sempat ia memulai pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, membuat kami semua menoleh. Emery mengayunkan tangannya dan pintu kelas pun mengayun membuka.

Elea berdiri di depan pintu. Ia mengucapkan beberapa kalimat pada Emery, kemudian menggeser tubuhnya dan tampaklah seorang gadis peri yang tersenyum pada Emery. Elea bersama seorang gadis peri. Eh? Bukannya dia itu gadis peri yang kemarin? Apa yang dilakukannya di sini? Siapa sih dia?

"Maaf, apa di sini kosong?", sebuah suara membuyarkan lamunanku. Gadis peri itu kini berada di hadapanku. Ia menunjuk kursi kosong tepat di sebelahku. Aku hanya menganggukkan kepala. Aku bahkan tidak tersenyum.

"Makasih.", jawabnya riang sambil tersenyum, lantas duduk tepat di kursi di sebelahku. Ya Tuhan, apalagi ini?! Belum cukupkah cobaanku berada di sekolah aneh ini?! Sekarang malah aku duduk berdekatan dengan peri. Makhluk ceria dan sok manis yang menyebalkan.

Aku menopang daguku. Memasang wajah seolah aku memperhatikan Emery yang mengayunkan tangannya di depan papan tulis, memunculkan huruf-huruf besar. Werewolf, materi manusia serigala. Aku mendengus dalam hati, sambil melirik gadis peri tadi melalui sudut mataku. Ia menatap Emery dengan serius, memperhatikan setiap kata-kata Emery dengan seksama. Kenapa dia begitu antusias? Siapa dia sebenarnya?

------------------------------------------------------

nightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang