love is in the air

5.8K 441 5
                                    

SISI

Aku mendengar Digo menghela napasnya perlahan. Aku menoleh padanya. Ia melempar senyum padaku. Aku sangat suka melihatnya tersenyum. Tangannya masih menggenggam tangan kananku. Kami duduk di kursi kayu di sisi danau halaman gedung asrama. Menikmati cahaya matahari yang mengintip perlahan melalui celah pohon rindang yang menaungi kami.

"Jadi? Kita pacaran?", katanya padaku. Ia masih menatap air danau yang tenang.

"Pacaran?", kataku lalu tertawa ringan. Aku terkejut dan merasa lucu ketika mengetahui bahwa di sini, di nightingale banyak hal yang tak jauh berbeda dengan di bumi.

"Kok ketawa? Iya, kamu, aku, pacaran?", tanyanya lagi. Wajahnya memandangku tak sabar.

"Iiihh hahaha! Hahaha!", aku tak bisa menahan tawaku yang cempreng dan membahana. Ia menatapku bingung.

"Sejak kapan pake aku-kamu?", tanyaku lagi di sela tawaku.

Digo hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku melihatnya tersipu, tapi ia menahan senyumnya. Aku tak tahan untuk menggodanya. Banyak sekali ekspresi wajah yang selama ini disembunyikannya, dan setiap ekspresi wajahnya yang tidak datar itu membuatku semakin menyukainya. Dia tampak jauh lebih menarik dan istimewa saat lepas seperti ini.

"Iya. Iya.", kataku pelan. Aku meliriknya dari sudut mataku, menunggu responnya dari jawabanku.

"Apa? Kamu bilang apa tadi?", katanya menggodaku.

Aku merasakan ada sesuatu yang terjadi dalam perutku saat mendengarnya berkata 'kamu' padaku, entah apa itu, tapi rasanya aneh dan menyenangkan. Butterfly in my stomach, begitu istilah yang aku tahu dari sebuah buku yang kubaca saat aku masih tinggal di bumi. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta.

"Iya.", kataku lagi, kali ini mengeraskan suaraku.

"Apanya yang 'Iya'?", kata Digo lagi, kali ini ia balas menggodaku.

"Iya, aku, kamu. Pacaran.", kataku sambil menahan senyum dan menatap lurus ke danau. Tapi aku tak bisa menahan saat pipiku yang chubby ini bersemu merah.

"Hahaha. Hahaha.", aku mendengarnya tertawa.

Aku menoleh padanya, melihat Digo yang tertawa lepas. Mulutnya terbuka, memamerkan gigi-giginya yang berderet rapi. Matanya sedikit terpejam saat ia tertawa, memperjelas bulu matanya yang panjang dan lentik. Aku melihat Digo jauh lebih tampan dan menarik saat seperti ini. Tanpa sadar aku menatapnya tak berkedip.

"Hei!", sesuatu menyentuh pipiku dengan lembut, menyadarkanku kembali dari lamunan singkatku. Digo menyentuh pipiku dengan tangannya yang tak menggenggam tanganku. Aku terkesiap dan memalingkan wajahku.

"Kamu ngga usah terpesona gitu.", katanya lagi.

"Iih. Siapa yang terpesona? Ge er banget.", kataku padanya.

"Aku.", kata Digo singkat, membuatku menoleh kaget padanya. Aku menatapnya bingung, meminta penjelasan.

"Iya. Aku yang terpesona sama kamu.", katanya.

Kali ini ia menatapku dalam sambil tersenyum simpul padaku. Aku balas tersenyum. Aku tak menyangka jatuh cinta akan seperti ini, semudah ini, seindah ini.

"Tuh kan, bener kamu terpesona sama aku. Hahaha!", suara berat Digo kembali menyadarkanku dari tatapanku yang terpaku di matanya. Aku melihatnya tertawa puas. Ia tampak senang menggodaku.

"Iiih. Rese! Awas yaa kamu!", kataku sambil mencubit pipi Digo yang tak kalah tembem dengan pipiku. Digo mengaduh, ia berusaha menepis dan menggenggam tanganku. Ia menatapku lagi, kali ini aku tak akan balas menatapnya agar ia tak menggodaku lagi. Aku tak akan tertipu lagi!, kataku dalam hati.

nightingaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang