"Farah tolong isi ulang air ini!" seru Leeya sambil menunjuk ember yang tergeletak di bawahnya. Aku mengangguk lalu mengucapkan permisi kepada salah satu pasukan kuda yang sedang kuobati.
"Cepat ya!" teriak Leeya tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari luka pada lengan prajurit yang sedang ia obati.
Aku mengiyakan lalu menerima ember yang dikasih dari Leeya dan berjalan meninggalkan balai kesehatan Faraway yang penuh akan pasukan kuda yang sedang terluka. Kutenteng ember yang terbuat dari tanah liat menuju sumur desa yang berada tak jauh dari balai kesehatan.
Saat berhasil mengisi ember ini penuh dengan air, susah payah aku menentengnya kembali ke balai kesehatan dengan kedua tanganku, dikarenakan volume air yang membuat ember ini semakin berat.
Bahkan air di dalam embernya beberapa kali lompat ke tanah dengan sangat indah, membuat airnya berkurang setiap aku melangkah.
"Perlu bantuan?"
Suara serak nan tegas menggelitik indra pendengaranku membuat bulu kedukku seketika meremang. Aku berbalik dan menemukan manik biru langit yang sedang menatapku dengan sangat intens.
"Ya-Yang Mulia ...."
Aku meringis saat mendapati suaraku yang tergagap. Sementara yang mulia terus menatapku tanpa mengindahkan tatapan risih yang kutunjukkan kepadanya.
Aku mengalihkan pandanganku dan menatap ember yang sedang kupegang. "Tidak usah yang mulia, saya bisa sendiri. Lagipula lengan kiri Yang Mulia baru saja sembuh. Saya permisi."
Lalu aku segera melanjutkan perjalananku yang tertunda tanpa menghiraukan kehadiran yang mulia.
"Tunggu!" serunya.
Aku memejamkan kedua mataku sambil mengucapkan jampi-jampi sebelum aku menoleh ke arahnya.
"Ada apa Yang Mulia?" tanyaku.
"Tanganku masih sakit, tolong obati!" perintahnya.
Aku menatap lengan kirinya yang dibalut kain perban. "Bukankah lengan Yang Mulia sudah baik-baik saja ketika saya menyembuhkannya kemarin?"
"Tapi ini masih perih, aku ingin kau mengeceknya sekali lagi," kilahnya.
Aku menghela napas diam-diam. "Baiklah yang mulia, tapi izinkan saya menaruh ember ini dulu ke balai kesehatan," ujarku, lalu langsung berjalan tanpa menunggu yang mulia membalas ucapanku.
"Nambah kerjaan aja," gumamku.
Aku memberi ember tersebut ke Leeya begitu sampai, lalu pamit keluar. Aku berjalan ke arah Yang Mulia Pangeran yang sedang berdiri di bawah pohon dekat sumur tadi.
Tiba-tiba seseorang menarik pergelangan tanganku, "Tabib Far kau dipanggil tetua desa," ujar Winston dari arah sampingku.
"Ah ... benarkah? Tunggu sebentar ya, aku inginn–"
"Tetua desa menyuruhmu untuk segera menemuinya, cepatlah!" ujar Winston lalu menarik pergelangan tanganku untuk mengikutinya.
"O-oke ... baiklah."
Aku menoleh ke arah Yang Mulia yang sedang berdiri dengan kedua matanya yang terpejam di bawah pohon, diam-diam aku bersyukur karena tidak perlu bertemu dan menjawab pertanyaan-pertanyan aneh yang dilayangkannya kepadaku seperti kemarin.
"Sepertinya kau kelelahan merawat pasien sebanyak itu," ujar Winston memulai percakapannya denganku sambil berjalan.
Aku terkekeh, "Ya, jumlah mereka memang sangat banyak," jawabku.
"Kau terlihat bangga huh?" tanyanya sambil menarik ujung bibirnya membuat seringai menawannya tercetak di atas kulit putih dengan lekuk wajahnya yang tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alana : That Dream
Fantasy[ Fantasy-mystery & (Minor) Romance ] [ Chapter Completed ] Alana hanya gadis manis yang tidak bisa mengingat mimpinya, hingga suatu kejadian aneh merubah hidupnya dalam sekali kedipan mata. Alana terperangkap dalam dunia mimpinya yang penuh misteri...