Kebenaran

1.4K 65 3
                                    

Aku terbangun oleh terik mentari yang makin menyengat. Kulihat diriku berada di tepi sungai dengan pakaian basah kuyup. Segera aku bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling.

Aku ... di mana?

Kepala masih merasa begitu pusing sehingga untuk melangkahkan kaki saja tidak cukup mampu. Oleh itu, aku memutuskan kembali duduk. Beberapa saat kemudian, kuambil air dengan kedua tangan dan membasuh wajah. Tenggorokanku kering, sekalian saja kuminum air sungai.

Jika sungai di Negeri Angin hanya berjumlah satu, maka seharusnya aku berada di aliran sungai menuju danau di hutan itu. Benar sekali, tetapi aku sama sekali tidak mengenali tempatku berada saat ini.

Tak berselang lama, aku melangkah. Entah akan ke mana kaki-kaki ini membawaku. Yang pasti, jika tinggal diam saja, aku tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sambil melangkah pelan, aku begitu ingat dengan kejadian di Kerajaan Batalia.

Ayah, ibuku, Tuan Birendra, Pangeran Kalandra. Apa kabarnya mereka sekarang? Kemungkinan paling buruk yang bisa kupikirkan adalah mereka dihukum mati oleh pria berambut ikal itu.

Aku mengembuskan napas panjang. Setelah berjalan cukup lama, aku menemukan sebuah gubuk reyot. Tidak jauh berbeda dengan gubuk milik ibuku. Kiranya aku bisa menemukan orang atau mendapatkan makanan di sana, segera aku mendekat ke bangunan lusuh itu.

"Permisi! Apa ada orang di dalam?" tanyaku sambil berusaha memperhatikan sekeliling bangunan. "Permisi."

"Siapa yang kau cari, Gadis Muda?"

Sebuah suara membuatku menoleh ke belakang sehingga melihat seorang pria tua berjanggut dan berkumis tebal yang telah beruban.

"M-maaf, Kek. Apa ini rumah Kakek?" tanyaku kemudian, agak sungkan karena sepertinya kakek itu terlihat tidak bersahabat. Bahkan kedua alisnya pun saling bertautan. Ekspresi di wajahnya seperti tidak suka aku dekat-dekat dengan gubuknya.

"Ya." Kakek itu berjalan dan berhenti di depanku. "Namun, aku tidak menerima seorang tuan putri untuk bertamu."

"S-saya bukan tuan putri, Kek. Saya ... hanya gadis biasa. Saya tersesat dan tidak tahu jalan. Karena melihat rumah ini, saya pun mencoba untuk mencari bantuan," jelasku.

"Pergilah. Kau bisa melewati jalan mana pun sesuai keinginanmu."

"T-tapi, Kek—"

"Ke mana tujuanmu?"

"Saya ... tidak punya tujuan, Kek. Saya benar-benar tersesat dan bingung harus ke mana."

"Lalu, dari mana kau masuk ke hutan ini?"

"Tidak sengaja. Kemarin malam saya jatuh ke sungai dan hanyut sampai di hutan ini."

Sang kakek mengembuskan napas, lalu mengelus-elus janggutnya yang panjang dan rimbun. Menurut pandanganku, kakek itu bukan orang sembarangan. Meskipun penampilannya sangat kumal, aku yakin dia orang yang punya ilmu tinggi. Maka dari itu, aku berpikir untuk meminta bantuan kepadanya.

"Kalau begitu, masuklah."

"B-benarkah saya boleh—"

"Jangan banyak bertanya. Masuk sebelum aku berubah pikiran."

Aku mengangguk cepat, lalu mengikuti sang kakek masuk ke dalam rumah sederhananya.

Setelah duduk di lantai menggunakan alas yang terbuat dari jerami, kakek itu menghidangkan beberapa buah-buahan, ubi rebus, serta teh hangat untukku. Kebetulan sekali aku merasa sangat kedinginan karena mantel yang kukenakan basah kuyup. Teh itulah yang kemudian menghangatkan tubuhku.

"Terima kasih banyak, Kek. Saya berjanji akan membalas kebaikan Kakek."

"Tidak perlu! Aku tidak butuh balasan. Makan dan minumlah. Setelah selesai, kau akan kuantar keluar dari hutan ini."

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang