Tipu Daya Camelia

566 36 4
                                    

Dadaku berdentum-dentum tak keruan melihat dua pria saling tatap dengan Tuan Mahawira. Ketiganya adalah pria yang sama-sama aku hormati, juga sama-sama berjasa dalam hidupku. Aku tidak ingin melihat mereka saling menyakiti. Meski begitu, mereka telah memutuskan untuk menyelesaikan konflik dengan tradisi pertarungan sampai mati.

Pertarungan sampai mati merupakan tradisi yang biasa dilakukan di sebuah kerajaan untuk memutus konflik antara dua orang atau lebih jika pembicaraan tidak menemukan solusi yang tepat. Sayangnya, hari ini salah satu dari mereka harus mati dalam pertarungan ini.

Tatapan Tuan Mahawira tajam seperti biasa kala menatap musuh-musuh yang tak bisa diremehkan kemampuannya. Tentu saja, Tuan Birendra maupun Pangeran Kalandra juga berapi-api.

"Hiyaaaaattt!"

Ketiga pria itu berteriak. Tuan Mahawira tak menunggu serangan dua pangeran itu, tetapi ia yang menjemput serangan mereka. Perbedaan kekuatan telah terjadi.

Saat kufokuskan pandangan pada pertarungan itu, Tuan Mahawira jauh lebih unggul. Ia memukul mundur dua pangeran dengan sangat mudah. Dua pangeran itu hanya dalam posisi bertahan tanpa serangan yang berarti.

Tuan Birendra dan Pangeran Kalandra sudah tampak kelelahan dengan napas yang berat. Sedangkan Tuan Mahawira justru makin berapi-api.

"Ada apa, Birendra, Kalandra? Apa kau sudah ingin menyerah? Ini pertarungan sampai mati, kalian harus ingat. Jika kalian menyerah, artinya kepala kalian adalah milikku."

Sangat tidak tega diriku. Sedari tadi, aku menahan bulir-bulir kesedihan yang ingin meluncur dari netra. Kini, sudah tak dapat lagi kutahan, sebab tanggulnya telah hancur. Air mengalir deras tanpa bisa kuhentikan. Ketiga pria itu menatap penuh tanda tanya ke arahku.

"Seharusnya kalian tidak memutuskan persahabatan hanya karena sebuah kesalahpahaman. Kalian pikir pertarungan kematian itu hebat?" Sambil menatap ketiganya, aku berusaha menghapus air mata, tetap saja tak bisa. "Tuan Mahawira. Aku kecewa padamu. Padahal, kau bisa menjelaskan semuanya dengan kepala dingin. Tapi, kenapa kau bersikeras menyelesaikan semuanya dengan kematian? Kalian pikir nyawa seremeh itu? Kalian pikir hidup seenteng itu?"

"C-Cornelia—"

"Jangan bicara apa pun, Tuan. Kau sungguh telah mengecewakanku. Aku pikir kau penuh kasih sayang, tetapi ternyata tidak seperti yang aku pikirkan." Aku bersimpuh sambil menunduk, sementara air mata masih mengalir, sesenggukanku makin kencang.

Tak sengaja kupegang kalung permata hijau yang menggantung di leherku. Tiba-tiba benda itu membuatku teringat dengan perkataan Ki Cakra. Aku makin erat menggenggamnya dan berharap Ki Cakra datang menghentikan pertarungan tiga pria ini.

"Untuk kali ini, maafkan aku, Cornelia. Tidak ada yang bisa menghentikan pertarungan ini."

Tuan Mahawira kembali bergerak. Pedang ketiganya saling menggigit, berdenting ngilu menciptakan percikan-percikan api. Aku makin dirundung kesedihan yang dalam.

Saat berusia sepuluh tahun, Tuan Mahawira pernah bercerita mengenai dua pangeran yang sedang dilawannya mati-matian itu. Ia menganggap keduanya sebagai saudara sendiri meskipun pada saat itu mereka tak pernah lagi bermain ke Rosalia karena tindakan Tuan Mahawira yang membela diriku.

Aku hanya menyayangkan ikatan mereka yang sudah terjalin sangat lama, tetapi hancur begitu mudah hanya karena kesalahpahaman. Bukankah itu konyol? Ikatan yang sudah lama terjalin seharusnya tidak akan pernah hancur karena kebodohan mereka dalam berpikir dan bertindak. Sungguh mereka para pria hanya mengandalkan amarah semata.

Ketika aku belum terlalu dekat dengan Tuan Mahawira saat berusia delapan tahun, selalu kulihat dia bermain-main dengan dua pangeran itu. Aku ingat sekali bagaimana senyuman mereka terkembang begitu hangat. Aku sangat ingat bagaimana tawa mereka membuat diriku iri. Saat mereka tertawa bahagia, saling mewarnai hari bersama, saat itu aku hanya seorang gadis kesepian yang tak pernah diinginkan siapa pun.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang