Menjadi Tawanan

2.8K 110 1
                                    

Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa orang-orang itu menangkapku. Padahal aku baru saja tiba di negeri ini. Memangnya aku pernah berbuat salah apa pada mereka?

Aku dimasukkan ke dalam kereta bersama wanita-wanita lain yang diriku tak tahu siapa. Aku pikir kereta itu isinya para petinggi, tetapi dugaanku ternyata salah besar.

Jangan-jangan aku akan dijual?

Tidak, tidak, tidak. Jangan sampai hal itu terjadi. Semoga saja Tuan Mahawira datang dan menyelamatkanku.

Beberapa waktu yang lalu, Tuan Birendra tak dapat melakukan apa-apa karena para pengawal rombongan ini cukup banyak. Mungkin Tuan Birendra tidaklah takut, tetapi hanya tidak ingin membuat masalah di negeri ini. Tapi ... baiklah. Setelah itu, aku mencoba berkomunikasi dengan para perempuan yang bersamaku di dalam kereta.

"Maaf, bolehkah aku bertanya? Sebenarnya kita akan dibawa ke mana?"

Satu pun tak ada yang menanggapi pertanyaanku. Kulihat mereka hanya menunduk dengan tatapan kosong. Hanya kesedihan yang terlihat di bola mata para perempuan itu.

"Apakah kita akan dibawa ke suatu tempat? Tapi ... untuk apa sebenarnya?" Kembali aku melontarkan tanya. Meski kutahu sebenarnya tidak akan ada yang akan menjawab pertanyaanku.

"Hmm, baiklah. Kalian mungkin sedang kelelahan. Aku mengerti. Kenapa tidak coba untuk istirahat saja?"

Di dalam kereta terdapat tiga perempuan dewasa dan dua lainnya terlihat masih remaja. Ada yang duduk merengkuh diri, ada pula yang bersandar di sudut kereta.

Tak lama kemudian, sepertinya kereta berhenti di suatu tempat. Entah di mana, aku tidak bisa melihat ke luar. Namun, aku memberanikan diri menyembulkan kepala melalui pintu kecil. Banyak pengawal yang melihat, lantas aku kembali ke posisi semula.

Dugaanku mungkin saja benar. Saat ini kami akan dibawa ke sebuah tempat dan menjadi tawanan. Dari tawanan menjadi barang dagangan. Memangnya siapa orang-orang jahat tak tahu sopan santun yang menangkap para perempuan lemah itu? Menyebalkan sekali.

Aku memang tidak merasa takut sedikit pun, tetapi jika kenyataannya kami akan diperjualbelikan, tentu saja aku akan berusaha kabur bagaimanapun caranya.

Salah seorang pengawal membuka pintu kereta, lalu meminta kami keluar.

"Jangan mencoba kabur. Kalau sampai ada yang berusaha kabur, kalian akan kami bunuh di tempat ini!" pungkas pengawal itu.

Mengerikan sekali perkataannya. Memangnya nyawa manusia tak ada harganya sehingga mereka berniat membunuh kami?

Aku turun dari kereta dan berada di barisan paling depan. Sementara itu, mereka meminta kami berjalan menuju sebuah goa. Sampai di dalam goa, aku melihat begitu banyak para perempuan yang kaki dan tangannya dibelenggu rantai.

Ya, Tuhan. Benar dugaanku! Mereka akan memperjualbelikan kami.

Aku menelan saliva melihat para perempuan yang menderita di dalam goa. Mereka tidak bisa ke mana-mana. Langkah mereka dibatasi, penampilan mereka begitu kumal, seperti diriku yang dulu.

"Cepat, masuk!" tegas salah seorang pengawal. Sementara itu, bola mataku masih menatap pria yang rambutnya memutih sedang bicara dengan beberapa orang berkumis tebal.

"Sedang lihat apa kau?!" bentak pengawal itu.

"Itu! Ada ...," ucapku sambil menunjuk ke sebelah kanan. Mereka langsung menoleh ke arah kanan, dan ini kesempatanku untuk beraksi.

Dengan lugas kuambil senjata yang dibawa pengawal di sampingku. Awalnya cukup kesulitan karena cengkeramannya begitu keras. Namun, pada akhirnya aku berhasil merebut senjata tersebut.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang