Kehidupan yang Diidamkan

3.3K 99 3
                                    

"Maaf, Tuan." Kutundukkan kepala demi menghindari tatapan tajam Tuan Mahawira. "Seorang pelayan tidaklah pantas melakukan hal itu dengan tuannya sendiri. Aku ... sadar diri, Tuan."

"Kenapa kau berbicara begitu, Cornelia?" Pria berhidung lancip itu meraih kedua pipiku, memaksa mataku menatapnya kembali.

"Karena seperti itu kenyataannya, Tuan. M-maaf." Terpaksa kuturunkan tangan Tuan Mahawira dari kedua pipiku. "Tuan adalah seorang pangeran yang akan menjadi penerus Paduka Raja nanti. Sedangkan aku ... hanya seorang pelayan biasa yang tidak memiliki kelebihan apa pun."

"Aku benci apa yang kau katakan, Cornelia! Aku benar-benar tidak suka mendengarnya, kau tahu? Kita tidak sedang berada di istana. Kita berada di negeri orang, dan ini adalah keinginanku. Kau harus tahu itu!" katanya dengan nada kecewa. Dia memalingkan wajahnya.

"Di mana pun kita berada, kita tidak bisa lari dari kenyataan, Tuan. Kenyataan bahwa aku hanya seorang—"

"Diam, Cornelia!" Seketika nada Tuan Mahawira bertambah tinggi. Sepertinya aku membuat pria itu makin marah. "Aku sangatlah tidak suka dengan perkataanmu! Itu sama saja dengan kau menyuruhku untuk menerima pernikahan yang sama sekali tidak pernah aku inginkan!"

Hening menelungkup seluruh ruangan. Aku tahu seharusnya tidak mengatakan hal yang menyakiti hati tuanku sendiri. Namun, tetap saja apa yang tuanku inginkan tidak dapat dibenarkan. Seorang pelayan menjalin hubungan kekasih dengan tuannya adalah sesuatu yang tabu. Aku bisa dihukum mati jika sampai Paduka Raja mengetahuinya. Aku bisa dicemooh jika rakyat jelata mengetahuinya.

"Tidurlah. Lupakan apa yang aku bicarakan padamu."

Tuan Mahawira berdiri, lalu kembali ke kamarnya.

Ya, Tuhan. Kenapa hatiku sesedih ini karena telah mengecewakan tuanku sendiri? Tapi, apa yang seharusnya aku lakukan?

Perlahan, air mata runtuh menitik membasahi selimut yang membalut tubuhku. Cairan bening yang mengalir dari pelupuk mata ini sangat tidak bisa aku tahan. Akhirnya, aku berusaha menahan suara tangis agar tidak terdengar Tuan Mahawira.

Jika saja aku terlahir dari darah daging seorang bangsawan, tentu saja aku tidak akan pernah menolak keinginan Tuan Mahawira. Namun, jika memang itu terjadi, aku pasti tidak akan pernah mengenal pria itu.

Kurengkuh diri sendiri, berkali-kali menghapus air mata, tetap saja menganak sungai. Yang terbayang hanya wajah tuanku, juga ketakutan bahwa dia akan membenci diriku.

Menjalani sebuah hubungan dengan Tuan Mahawira hanyalah mimpi semata. Aku harus bangun dari mimpi itu dan selalu melihat kenyataan pahit yang ada.

-II-

Demi mencukupi kebutuhan makan dan minum, aku berjualan sayur dan buah-buahan di pasar. Seorang saudagar menerimaku bekerja dan memberikan kepercayaan untuk membawa segala macam sayur serta buah-buahan yang dipetik langsung dari kebun miliknya. Untung saja ada yang berbaik hati menerimaku. Kalau tidak, aku bisa-bisa hanya merepotkan Tuan Mahawira.

Tiga hari sudah aku tidak bertemu Pangeran Kalandra dan Birendra. Sepertinya mereka punya kesibukan masing-masing. Lagi pula, aku tidak membutuhkan mereka. Menghalangi diriku berduaan saja dengan Tuan Mahawira.

Namun, setelah dipikir-pikir kembali, hubunganku akhir-akhir ini agak renggang dan canggung dengan tuanku. Setelah malam itu, kami jadi sedikit bicara. Apalagi ia selalu menghindar saat aku mengajaknya membicarakan sesuatu.

Dasar, Mahawira! Kenapa dia jadi seperti bocah?! Aku kesal padanya! Menyebalkan!

"Kau kenapa?"

Khayalanku berhamburan saat suara itu masuk ke telinga. Kulihat Tuan Mahawira telah berdiri di sampingku sambil melihat diriku meremas-remas beberapa sayuran.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang