Pengorbanan

997 41 2
                                    

"Kampung kami dirampas Kerajaan Simaseba dan dijadikan wilayah untuk memperluas istana. Para rakyat ditangkap, lalu dipekerjakan tanpa imbalan untuk sebuah pembangunan. Anak-anak dijual, dijadikan bisnis dan budak. Sedangkan para lelaki yang masih remaja dipaksa bekerja sebagai prajurit yang mengabdi kepada istana."

Aksa, seorang pria yang beberapa waktu lalu menyerang kami ternyata warga dari sebuah desa yang dirampas oleh Kerajaan Simaseba. Jadi, itulah alasannya menggunakan lahan di samping sungai ini sebagai tempat peristirahatan.

"Maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud menyerang kalian. Aku hanya berwaspada. Aku pun berpikir kalau kalian adalah orang jahat dari Simaseba," ucapnya, dengan wajah sendu. Dia menunduk kemudian.

Aku dan Tuan Mahawira fokus mendengarkan cerita Aksa. Bagiku sendiri, yang dilakukan Putri Camelia dan para menterinya adalah hal yang tidak berprikemanusiaan. Bagaimana bisa ia melakukan hal yang sama piciknya seperti Baltra?

Ah, aku melupakan sesuatu bahwa putri congkak itu merupakan aliansi Baltra. Tidak heran dia begitu jahat kepada para rakyat kecil.

"Lalu, sekarang desa kalian dikuasai Simaseba?" Tuan Mahawira bertanya sambil menatap Aksa.

"Begitulah. Sebagian dari kami melarikan diri dan mencari tempat aman untuk tinggal. Aku sendiri memilih tempat ini karena aman. Setiap beberapa hari sekali, aku pergi memeriksa keadaan di Simaseba. Tapi, hanya dari kejauhan. Para prajurit kerajaan sangat ketat."

Aku memberikan ubi rebus kepada Aksa karena menurutku ia tampak sangat lapar. Hanya firasat saja. Pria itu menerimanya, lalu memakannya dengan lahap.

"Terima kasih makanannya," ucap Aksa, sambil tersenyum tipis.

"Aku pikir kau salah satu utusan Putri Camelia," kataku, sambil menatap pria itu penuh selidik.

"Tentu saja tidak. Mana ada orang lemah sepertiku menjadi utusannya. Aku pun tidak sudi menjadi bawahannya." Napas Aksa seolah tertahan. Setitik cairan bening bertengger di kelopak matanya.

"Kau kenapa?" Tuan Mahawira mengernyit.

"Putri sombong itulah yang menyebabkan kematian orang tuaku. Masih sangat jelas di ingatan bagaimana dia membakar rumah kecil kami dan tertawa saat ibu dan ayahku mati terbakar." Gigi pria itu menggertak. Air mata jatuh ke ubi rebus di tangannya.

Aku pilu mendengarkan cerita Aksa. Benar-benar kejam. Putri Camelia bukan manusia. Dia iblis yang berwujud manusia.

"Pantas saja. Sudah lama aku mencurigainya. Ternyata ini yang dia sembunyikan dari Rosalia." Tatapan Tuan Mahawira langsung berubah.

"Apa semua perkataanmu bisa dipertanggung jawabkan?" tanyaku, memastikan.

"Jika kalian tidak percaya, bisa periksa ke desaku yang sekarang sudah mereka hancurkan. Bahkan banyak prajurit berjaga di sana. Hak-hak kami sudah dirampas oleh mereka. Kurang jelas apa lagi?"

"Aku percaya. Air matamu tidak akan bisa berbohong." Aku mengangguk.

"Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu, Camelia. Aku akan menuntut balas atas semua yang kau renggut." Tuan Mahawira berbicara sendiri, tetapi kuyakin itu adalah luapan dari isi hati terdalamnya.

Aku sangat tahu Tuan Mahawira membenci perbudakan dan penindasan. Oleh itu, jika dia menjadi seorang pemimpin, pasti para rakyat akan terbebas dari belenggu beban pada kerajaan. Apalagi Tuan Mahawira begitu murah hati. Dia bahkan pernah meminta Paduka Raja menurunkan setoran upeti rakyat ke istana. Ia juga meminta Paduka Raja untuk tidak memaksa rakyat membayar upeti jika tidak punya penghasilan tetap.

"Rakyat seharusnya terbebas dari semua kewajibannya terhadap istana. Jika rakyat tak hidup makmur, maka tidaklah kerajaan itu disebut jaya. Tak ada kejayaan bagi sebuah kerajaan tanpa kebahagiaan para rakyat," tandas Tuan Mahawira.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang