Mekarnya Cinta Sebelum Bertemu

1.3K 58 1
                                    

"Pergilah ke Kerajaan Rosalia bersama Mahawira dan kirimkan rasa terima kasihku pada ayahnya."

"Untuk apa, Ayah?"

"Mahawira. Untuk bisa mengalahkan Baltra, kau tidak hanya perlu mengerahkan semua prajurit. Bahkan jika menggabungkan prajurit dengan kerajaan lain pun, Baltra tidak akan terkalahkan," jelas sang ayah sambil menatap Tuan Mahawira yang duduk di hadapannya.

"Lalu, dengan cara apa dia bisa dikalahkan?" tanya sang pria, lalu meneguk segelas air minum yang beberapa waktu lalu kuberikan untuknya.

"Dengan kekuatanmu, Mahawira. Sayangnya, kekuatanmu harus dilatih dan kau harus bisa mengendalikannya. Kekuatan yang diwariskan seorang penyihir terkuat di Negeri Tulip padamu itu tidak bisa dipelajari hanya dengan melakukan pertapaan. Kau harus meminta ayahmu untuk membuka kuncinya."

Tuan Mahawira terlihat mengernyit. Begitu pun denganku yang sama sekali tidak mengerti hal yang dibicarakan sang ayah. Kunci?

"Apa maksudnya dengan kunci? Dan ... kekuatan macam apa yang kita bicarakan?"

Sang ayah menghela napas dalam, lalu kembali melanjutkan penuturannya. "Kunci dari segel yang menghalangi kekuatanmu keluar secara alami. Itu yang pernah diberitahukan ayahmu padaku. Dan kekuatan itu haruslah dilatih dengan cara melakukan pernapasan serta menyelami tabir jiwa."

Aku menelan saliva. Baru kali ini kudengar ada kekuatan semacam itu. Berarti ini memang sudah takdir bahwa Tuan Mahawira merupakan lawan seimbang dari Raja Baltra. Meski begitu, seperti yang dikatakan sang ayah, ia harus melatih kekuatannya dan membuka kuncinya.

"Kalau begitu, efek dari kemarahan Tuan Mahawira beberapa hari yang lalu karena tabir jiwanya masih dikunci?" tanyaku.

"Betul, Cornelia. Kekuatan yang memaksa keluar dari tabir jiwa yang dikunci akan menyebabkan amarah yang berlebihan sehingga tidak dapat dikendalikan pemiliknya."

Serentak aku dan Tuan Mahawira mengangguk. Kini, aku sepenuhnya mengerti. Mungkin perubahan sikap tuanku itu juga disebabkan karena tidak stabilnya emosi di dalam dirinya.

"Baiklah. Terima kasih sudah menjelaskan semuanya padaku," ucap Tuan Mahawira sambil menunduk.

"Tuan, kau harus makan," kataku kemudian. Aku menjejak ke dapur untuk mengambil bubur yang sudah kubuatkan untuknya.

"Ya, terima kasih." Tuan Mahawira tersenyum. "Tapi ... aku mau kau menyuapiku."

Sekembalinya dari dapur, ayahku bangkit. "Baiklah. Kalau begitu, aku akan keluar karena tidak ingin mengganggu momen kalian."

"Ayah?! Apa yang Ayah katakan?!" teriakku, spontan.

Ayahku hanya tercengir sambil berlalu pergi.

-II-

"Aaaa ...."

Kulayangkan sendok di depan mulut Tuan Mahawira. Ia segera membuka mulutnya setelah berlama-lama menatap mataku. Sendok masuk ke mulutnya, lalu kutarik pelan. Tuan Mahawira mengunyah bubur.

"E-enak?" tanyaku, malu-malu.

"Buburnya tidak terlalu enak, tetapi kasih sayangmu yang menjadikannya begitu nikmat."

Sungguh, perkataan Tuan Mahawira membuatku makin tersipu. Aku tidak bisa memalingkan wajah dan menatapnya. Bisa-bisa aku terpesona selamanya.

Tuan Mahawira mengembuskan napas sambil tersenyum. Tangannya mengangkat, lalu mengelus kepalaku dengan lembut.

"Terima kasih karena tidak membenciku."

"Memangnya, apa yang akan membuatku membencimu, Tuan? Aku sungguh tidak bisa membencimu."

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang