Pertarungan Pedang

651 31 1
                                    

"Sudah kuputuskan. Aku akan ikut kalian dan menyelamatkan Hana," kata Aksa, dengan semangat membara sembari mengepal tangan kanan.

"Kau serius?!" tanyaku, memastikan.

"Iya, aku sangat serius. Terima kasih karena sudah mengajariku arti penting dari sebuah pengorbanan."

Tuan Mahawira kulihat menyunggingkan senyuman. "Bagus. Begitulah seharusnya. Mari, kita berangkat."

Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Simaseba. Kali ini bertambah satu orang yang ikut dengan kami. Aksa, pria yang bertujuan menyelamatkan kekasihnya dari perbudakan.

"Aku tidak percaya kalian rakyat biasa." Aksa tiba-tiba membuka percakapan sambil terus berjalan.

"Kenapa kau tak percaya? Apa penampilan kami tidak seperti rakyat biasa?" Tuan Mahawira menanggapi.

"Tidak hanya itu, tapi tak ada rakyat biasa yang sangat hebat dan berani seperti kalian. Aku merasa sangat lemah di antara kalian berdua."

"Oh, begitu. Tidak perlu merasa seperti itu. Siapa saja bisa menjadi kuat dan hebat. Yang membedakan adalah usaha yang dilakukan."

Aku senang sekali mendengar perkataan Tuan Mahawira karena setiap kali ia memberikan sebuah motivasi, itu terdengar sangat teduh dan membuat siapa saja yang mendengarnya seperti bernaung di bawah pohon saat terik panas menerpa.

"Kenapa, Cornelia? Jangan bilang kau kagum padaku," kata Tuan Mahawira sambil tersenyum licik.

Baiklah, sepertinya aku harus menarik perkataanku. Dia sama sekali menyebalkan. Tidak, tidak, tidak. Di sisi lain dia sangat meneduhkan.

"Tidak juga," jawabku, sambil membuang muka.

"Mengaku saja."

Tuan Mahawira berpindah ke sampingku, lalu melingkarkan tangannya di punggungku. "Kapan kau akan mengaku dengan perasaanmu sendiri?"

"Aku sudah mengakuinya, Tuan."

"Hmm, aku ingin kau mengakuinya setiap hari, bahkan setiap saat jika bisa."

Aksa tiba-tiba tertawa renyah. Aku dan Tuan Mahawira menatap pria itu.

"Apa yang tiba-tiba kau tertawakan, Aksa?" tanya tuanku.

"Aku iri sekali dengan kemesraan kalian."

"Kalau begitu, jadikan kemesraan kami sebagai motivasi agar kau terus berkorban pada cinta yang kau harapkan."

Aksa pun mengangguk beberapa kali, terlihat sangat setuju dengan tuanku.

Tuan Mahawira seketika berhenti. Ia juga menarik lenganku sehingga aku turut berhenti. Aksa yang berada di belakang kami juga sepertinya demikian.

"Ssst." Tuan Mahawira meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.

"Ada apa?" bisikku.

"Dengar. Ada sesuatu yang bergerak cepat ke arah kita."

Segera kufokuskan pendengaran. Benar sekali bahwa suara langkah kaki yang begitu gesit terdengar mendekat ke arah kami.

Genggaman tangan Tuan Mahawira kurasakan makin erat. Aku melihat tangannya yang tertaut dengan tanganku. Cukup lama kami bergeming di tempat, bahkan Tuan Mahawira belum mengambil tindakan apa pun. Tak berselang lama, pria itu mendorong sambil mendekap diriku. Kami jatuh bersamaan. Tuan Mahawira mendongak, menatap sesuatu yang menancap di sebuah pohon. Aku memeriksa ke arah pandang pria itu. Sebilah pisau mengilap. Benar, itu sebilah pisau. Tapi ... bagaimana bisa?

Aksa juga menyadari keanehan itu, lalu bersiap dengan busur panah di tangannya.

"Ayo, bangun. Hati-hati."

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang