Tiba di Istana Rosalia

949 40 2
                                    

Aku terkesiap melihat betapa sepinya Kerajaan Rosalia. Tak ada siapa pun di istana, bahkan pengawal dengan pangkat terendah pun tak ada. Tuan Mahawira kusaksikan seolah tidak percaya dengan yang ia saksikan. Bahkan, Paduka Raja pun tak ada saat kami memeriksa singgasananya.

"Ke mana semua orang pergi?" lirihku, sambil menggeleng-geleng.

"Aku juga tidak tahu," balas pria itu, sambil melangkah pelan menuju singgasana tempat Paduka Raja biasanya duduk.

Setelah sejenak lamat menatap, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tuan Mahawira mengembuskan napas panjang. "Kondisi ayahku makin parah dari hari ke hari. Bahkan untuk mengangkat senjata pun ia tidak mungkin mampu. Saat kembali ke istana setelah diculik Camelia keparat itu, aku menceritakan semuanya pada Ayah."

"Apa mungkin—"

"Sudah bisa dipastikan." Tuan Mahawira menatap ke arahku. "Kau tahu? Kerajaan Simaseba sebenarnya menerapkan sistem kerja paksa di wilayah kekuasaan mereka. Ya, kau bisa mengatakan mereka sama seperti Baltra. Karena itulah, Simaseba sepertinya berkhianat dengan perjanjian aliansi yang puluhan tahun telah terjalin."

"Apa yang harus kita lakukan, Tuan? I-ini pasti karena salahku. Karena aku—"

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri."

"T-tapi, Tuan. Kenyataannya seperti itu. Awal dari semua masalah ini adalah ketika Paduka Raja memungut diriku. Seolah-olah setelah itu semua orang ditimpa kesialan. Dan akulah si pembawa—"

"Cornelia, hentikan!"

"Tidak, Tuan. Semua ini memang—"

Tubuh itu menghentikan kalimatku, memeluk raga yang tak berdaya karena segala pikiran tentang akulah yang membawa orang-orang pada kesialan-kesialan yang berlangsung beberapa bulan terakhir.

Aku tidak mengerti. Mengapa Tuan Mahawira begitu percaya, bahkan sedikit pun tak membenci atau menyalahkanku atas semua yang telah terjadi.

"Tak akan ada gunanya kau menyalahkan dirimu sendiri. Untuk apa? Apa dengan menyalahkan dirimu sendiri, kau bisa mengulangi semua yang telah terjadi? Itu tidak akan menyelesaikan masalah, Cornelia."

Makin erat pria itu memelukku. Dielusnya punggungku hingga naik ke rambut panjangku yang tergerai begitu saja.

"Berapa lama lagi kita akan melalui sesuatu yang buruk seperti ini?" Suaraku parau karena menahan cairan bening di netra.

"Aku tidak peduli dengan waktu yang dibutuhkan. Asal aku tetap bisa bersamamu, aku rela dijerat masalah ratusan, bahkan ribuan. Tegarlah, Cornelia seperti dirimu yang selalu membuatku tegar."

Aku mengangguk pelan, lalu melepas dekapannya.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Jangan buru-buru. Kita pastikan dulu benar atau tidak ayahku dan semua orang kerajaan dibawa ke Simaseba."

Tak berselang lama ketika Tuan Mahawira menyelidiki beberapa benda yang rusak, datanglah seekor burung merpati. Saat di kejauhan, aku sudah tahu ke mana tujuan sang merpati.

Kubentangkan tangan kanan, merpati itu pun hinggap. Kulihat ada sesuatu yang terikat di kakinya. Tentu saja, itu adalah sebuah surat.

"Tuan, sebuah surat. Sepertinya untuk Tuan," kataku, sambil membuka ikatan kertas di kaki merpati. Sang merpati segera terbang setelah surat berhasil kudapatkan.

"Coba kulihat."

Surat itu dibuka oleh tuanku, lalu ia baca dengan saksama. Sesekali dahinya mengernyit, sesekali juga tatapannya mulai berubah.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang