Gelisah

1.9K 92 5
                                    

"Ibu, siapa namamu? Aku bahkan belum mengetahui namamu sama sekali."

"Nama Ibu adalah Chandini Himeka. Jadi, nama Chandini dalam namamu Ibu ambil dari nama Ibu sendiri yang berarti cahaya bulan. Lihatlah, betapa cantik dirimu, Nak. Seperti indahnya cahaya rembulan. Kau akan selalu siap menerangi siapa saja," jelas Ibu sambil menyisir rambutku.

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Aku baru saja mengetahui namaku yang sebenarnya. Jika nama Cornelia itu bukan pemberian dari Paduka Raja, berarti beliau punya keterkaitan dengan keluargaku. Hal ini memang sangat ganjil. Setahuku, Paduka Raja yang memberikan nama Cornelia padaku. Bahkan, beliau sendirilah yang mengatakannya.

"Apa benar Ibu tidak tahu sama sekali mengenai Kerajaan Rosalia?"

"Tidak. Ibu tidak tahu. Memangnya kenapa, Nak?" Ibu memelukku dari belakang.

"Setahuku ... Paduka Raja-lah yang memberikan nama Cornelia padaku. Tapi, jika namaku yang sebenarnya adalah Cornelia, berarti Paduka Raja memiliki keterkaitan dengan Ayah."

Ibuku terdengar menarik napas panjang. "Ibu sama sekali tidak tahu apa pun mengenai Kerajaan Batalia milik ayahmu, Nak. Apalagi soal urusannya. Bahkan sejak kami menikah, ayahmu tidak pernah bercerita soal kerajaan beserta masalah-masalah yang ada. Sedangkan nama Cornelia itu ayahmu mengambilnya dari nama legenda seorang putri yang sangat baik hati. Arti Cornelia sendiri adalah penyelamat, Nak."

"Lalu ... kenapa Ayah begitu tega mengusir Ibu dari kerajaan, bahkan membuangku?"

Perasaan sedih kembali hadir dalam benak. Aku belum bisa menerima seorang ayah begitu tega menelantarkan anaknya sendiri. Bahkan anak yang ia buang itu belum tentu berdosa.

"Entahlah, Nak. Dari yang Ibu dengar, seorang peramal yang meminta ayahmu membuang anak dan istrinya karena dikatakan akan membawa kesialan bagi istana. Itu pun Ibu hanya mendengar gosip dari orang-orang."

"Tadi malam aku bermimpi, Bu. Mimpiku sangat buruk, dan aku sangat sulit mengingatnya."

"Mungkin Tuhan perlahan-lahan membuka kebenaran atas apa yang terjadi. Untuk saat ini, kau jangan memikirkan hal itu dulu. Bagaimana kalau kita bicara mengenai tuanmu yang tampan itu?"

Seketika aku tersipu begitu sang ibu mengalihkan pembicaraan pada Tuan Mahawira.

"Hmm? Kenapa? Kau malu membicarakannya?" goda ibuku.

"T-tidak. Siapa juga yang malu. Lagi pula, aku hanya pelayannya saja. Kami tidak punya hubungan istimewa apa pun."

"Siapa bilang kalian tidak punya hubungan istimewa? Jika setiap saat kau selalu bersamanya, itu artinya kalian sedang dalam hubungan yang istimewa. Kau tahu? Ibumu ini juga dulunya seperti itu dengan ayahmu. Ibu takut jika kau bernasib sama seperti ibumu ini. Apa kau sangat mempercayai pangeran itu?"

Aku terdiam atas pertanyaan sang ibu. Sangat berat memang untuk berkata jujur, tetapi ibuku merupakan pelayan yang pernah mengalami masa lalu pahit ketika menikah dengan seorang bangsawan.

Benar juga. Bagaimana jika aku dan Tuan Mahawira menikah, lalu punya anak, setelah itu ia membuang anak kami serta mengusirku seperti yang pernah ibuku alami? Ya, Tuhan. Aku tak sanggup memikirkan hal itu.

"Sepertinya tidak, Nak. Dari bola matanya, pria itu sangat baik dan bisa dipercaya. Hanya kaulah yang mengetahui bagaimana sifat tuanmu itu."

Aku mengangguk pelan kemudian. Mata menerawang sosok berwibawa itu.

-II-

Setelah berhari-hari tinggal di gubuk sederhana ibuku, Tuan Mahawira tak kunjung datang seperti janjinya waktu itu. Aku sangat gelisah memikirkan tuanku. Segala pikiran buruk menghantui kepala tanpa bisa kuusir dengan kata-kata penenang.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang