Takdir Terindah

2.2K 59 2
                                    

"Maafkan Ayah, Nak. Maafkan Ayah karena sudah membuatmu menderita sampai detik ini."

Pria paruh baya itu mengemis maaf dengan air mata yang bersimbah di wajah. Sedangkan, diriku masih belum bisa menerima apa-apa yang ia lakukan padaku di masa lalu. Meskipun tidak mengingat bagaimana kejadian itu berlangsung, tetapi aku merasa sakit dan tidak berharga bagi mereka.

"Apakah aku tidak cukup berharga bagi Ayah sehingga Ayah dengan tega membuangku?" Aku bahkan tidak melihat ke arah pria itu. Posisiku membelakanginya.

"Kau sangat berharga bagi Ayah. Oleh karena itulah Ayah melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin Ayah lakukan. Jika ada pilihan lain, Ayah pasti tidak akan membuangmu, lalu membuatmu menderita seperti sekarang, Nak."

Tangis makin pilu terdengar. Aku tak dapat menahan bulir-bulir bening yang memaksa keluar dari netra. Padahal, aku sudah berniat memaafkan pria itu. Namun, di dalam hati kecilku, ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan. Rasa tidak terima yang aku alami, seolah-olah aku adalah penyebab dari penderitaan kami.

"Ibu juga minta maaf, Nak."

"Dan Ibu! Kenapa Ibu menyembunyikan semua ini dariku? Kenapa Ibu tidak jujur padaku?"

"Ibu sengaja, Nak. Ibu sengaja mengatakan kalau ayahmu orang yang kejam dan jahat. Itu Ibu lakukan agar kita semua selamat."

"Untuk apa? Untuk apa, Ibu?! Bukankah seharusnya kita melawan?! Kenapa kita justru takut dengan Baltra sialan itu?! Aku sama sekali tidak akan mengakui dia adalah pamanku! Aku benci dia! Aku sangat membencinya! Karena dialah Ayah dan Ibu menderita.

"Ibu menjalani kehidupan sebagai gelandangan di luar sana. Dan Ayah menjadi budak pria picik itu!"

"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kalau pamanmu sudah benar-benar marah, dia bisa membuat seluruh kerajaan hancur, Nak. Dia bahkan bisa membuat wajah Ibu menjadi jelek seperti ini. Kita seharusnya pasrah--"

"Apa?! Pasrah?! Aku tidak mau, Ibu! Aku bersumpah akan membalas semuanya! Aku bersumpah! Dengan tanganku sendiri, aku akan membunuhnya!"

Amarah itu berkecamuk di kedalaman hatiku. Entah mengapa. Mengingat penderitaan yang dialami kedua orang tuaku itu membuat lubang yang sangat besar di hatiku. Dan aku benar-benar tidak ingin menerima kenyataan.

Kuembuskan napas panjang, coba menenangkan diriku dari segala amarah yang menghampiri.

"Baiklah. Aku memaafkan Ayah dan Ibu. Tapi, jangan minta aku untuk memaafkan pria licik itu! Dia bukan pamanku!"

Aku langsung keluar ke teras. Dan di sana, aku melihat Tuan Mahawira. Sepertinya pria itu sedang menguping pembicaraanku dengan kedua orang tuaku.

Kulihat Tuan Mahawira hanya sejenak, lalu berlalu pergi. Akan tetapi, pria itu mengejar, lalu meraih tanganku. Aku sungguh tidak ingin melihatnya saat wajahku dipenuhi air mata. Aku pasti terlihat sangat jelek.

"Tatap aku, Cornelia," katanya.

Aku tidak merespons, bahkan tidak ingin menoleh ke arahnya.

"Cornelia, tataplah aku."

"Kenapa aku harus menatapmu?" tanyaku, sambil menahan air mata yang lagi-lagi akan menyembur keluar.

"Kau tahu? Saat seorang gadis menangis, saat itulah dia akan terlihat sangat jelek."

"Aku tidak peduli!" tegasku. "Lepaskan aku!"

"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum menatapku."

"Menyebalkan! Kau menyebalkan, Tuan!"

Aku terpaksa berbalik badan, lalu tenggelam di dalam peluknya sembari membentur-benturkan kepalan tanganku.

"Kau sangat menyebalkan! Menyebalkan!"

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang