Tuan Tampanku

18.5K 414 3
                                    

"Pelayan! Bawakan aku makanan dan minuman!"

Bariton yang berteriak itu milik tuanku. Sepertinya dia baru saja pulang berburu kijang. Aku pun segera membuatkan minuman dan mengambilkan beberapa makanan untuk Tuan Mahawira. Jika tidak, dia pasti akan terus-menerus berteriak hingga membuat pecah gendang telinga siapa pun di istana ini.

"Pelayan! Bawakan aku—"

Aku datang ke tempat singgasana Tuan Mahawira dengan membawa nampan berisi segelas minuman, beberapa makanan kering, serta buah-buahan.

"Silakan, Tuan. Maaf, tadi aku tidak dengar suara Tuan," ucapku sambil meletakkan nampan di atas sebuah meja kecil di samping tempat duduk Tuan Mahawira.

"Apa kau tuli?! Aku berteriak puluhan kali, kau bilang tidak mendengarku?!" Tuan Mahawira menatap begitu tajam ke arahku.

Aku tertunduk sebagai respons rasa bersalah. "Maafkan aku, Tuan."

"Sudah! Angkat kepalamu!"

Setelah mengangkat kepala, aku berniat kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Akan tetapi, Tuan Mahawira kembali berteriak.

"Kau mau ke mana?! Aku tidak memintamu pergi dari sini!"

Aku pun mengembuskan napas panjang, lalu membalik badan. "Maaf, Tuan. Habisnya, aku masih ada pekerjaan di—"

"DIAM! Temani aku di sini. Sudah jadi tugasmu untuk menemaniku, bukan?"

"Iya, Tuan. Aku akan tinggal di sini sesuai permintaanmu."

Aku pun duduk bersimpuh di hadapan Tuan Mahawira. Tidak ada yang harus dilakukan, malah aku hanya melihat pria itu melahap buah-buahan dan makanan yang kubawakan untuknya barusan.

Sejujurnya, aku suka sekali melihat Tuan Mahawira makan dengan lahap. Apalagi semua makanan itu aku siapkan untuknya dengan penuh cinta. Ah, tidak. Aku tak boleh berpikir seperti itu. Dia adalah tuanku, dan aku hanya pelayan yang tidak pantas mengharapkan perasaan darinya.

"Cuaca hari ini sangat panas. Aku butuh kipas. Kau seharusnya mengerti. Hanya dengan melihat tubuhku yang berkeringat ini, kau pasti sudah tahu apa yang harus dilakukan."

Segera aku berdiri mengambil kipas yang diletakkan di sudut ruangan. Kukibaskan kipas besar itu demi membuat tuanku yang dingin itu sejuk.

Setelah beberapa menit, Tuan Mahawira selesai menikmati makanannya, ia merebahkan punggung sambil memejam.

Aku pikir Tuan Mahawira sudah tidur, maka aku berhenti mengibaskan kipas untuknya. Namun, setelah menaruh kembali kipas pada tempat semula, Tuan Mahawira menatapku dengan tajam. Aku terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Tentu saja, aku berusaha menghindari tatapan dinginnya yang bisa saja membekukan jiwaku itu.

Aku sudah tentu salah. Tuan Mahawira akan memarahiku lagi. Ya, ampun. Apa yang aku lakukan? Teganya aku membuat tuanku itu kepanasan lagi.

"Kenapa kau berhenti? Aku tidak pernah memintamu berhenti!" katanya dengan nada tegas.

"Baik, Tuan. Aku akan—"

"Kemari!"

Aku menelan ludah karena merasa gugup. Apa yang akan dilakukan Tuan Mahawira padaku? Hatiku terus bertanya, tapi tak juga menemukan jawaban.

Setelah cukup dekat, aku terdiam sambil menundukkan kepala. "M-maaf, Tuan. Aku ... pikir Tuan sudah tidak kepanasan lagi."

Tuan Mahawira belum merespons permintaan maafku, ia malah terus menatap dengan lamat. Sebenarnya apa arti dari tatapan Tuan Mahawira? Aku sungguh tidak mengerti, bahkan tidak sanggup bola mata ini membalasnya.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang