Tuan Mahawira yang Baru

985 42 2
                                    

Aku termenung di bawah pohon cemara, tepat di halaman istana yang sangat luas sambil menunggu kedatangan Tuan Mahawira yang sedang berlatih dengan Ki Cakra. Sebenarnya aku diizinkan ikut bersama mereka, tetapi entah begitu malas rasanya. Ada hal-hal yang mengganggu pikiranku.

Baltra. Orang itu benar-benar merenggut segalanya. Sekian kali kukatakan bahwa aku sangat membenci pria itu.

Aku merengkuh diri dengan pandangan hampa. Sangat tidak yakin diriku jika Tuan Mahawira bisa mengalahkan pria licik bernama Baltra. Namun, tidak ada salahnya berjuang. Berkali-kali Tuan Mahawira mengatakan bahwa kami harus memperjuangkan apa-apa yang pantas untuk diperjuangkan.

Hah ....

Aku menghela napas panjang. Rumit sekali hidupku. Jika boleh mengulang waktu, aku akan memilih menjadi pelayan Tuan Mahawira saja selamanya. Aku tidak ingin melihat pria itu bersusah payah menyelamatkan diriku, peduli, lalu terluka.

Tiba-tiba saja segumpal awan mendung menutupi mentari yang menghangatkan. Angin makin kencang menerpa. Pohon-pohon mengibas, daunnya berjatuhan. Cuaca yang buruk. Segera aku berlari mencari Tuan Mahawira dan memintanya kembali ke istana.

"Tuan Mahawira! Hujan sebentar lagi akan turun. Ayo, kembali ke istana!" teriakku, sambil membentuk dua tangan seperti kerucut.

Tuan Mahawira yang sedang duduk bersila kemudian menoleh padaku.

Sejenak ia berbincang-bincang dengan Ki Cakra. Kulihat Tuan Mahawira mengangguk, lalu bangkit dan menuju ke arahku.

"Kau perhatian sekali denganku. Hmm, bagaimana kalau kita mandi hujan saja?" tawar pria itu.

"Hah?! Mandi hujan? Seperti anak kecil saja kau, Tuan."

"Tidak apa-apa kau sebut aku anak kecil. Yang penting aku bisa menikmati waktu berdua denganmu."

Tuan Mahawira menengadah, lalu berteriak, "He, Tuan Hujan! Jatuhlah! Menerpalah ke jagat ini! Aku ingin menikmati dinginmu bersama gadis yang aku cinta!"

Duh, Tuan Mahawira benar-benar membuatku malu dengan Tuhan. Ya, Tuhan. Aku tidak enak. Tuanku itu sombong sekali memintamu menjatuhkan air hujan seenak hati.

Tak berselang lama, guntur menggelegar bersamaan dengan petir yang menyala, menyambar di langit yang gelap.

Aku tersentak mendengar suara gemuruh yang pekak. Tuan Mahawira mendekapku dengan erat. "Tak perlu takut. Petir tak akan berani menyambarmu karena kau ada di sampingku."

"Jadi, apakah petir takut denganmu, Tuan?" tanyaku kemudian.

"Tentu."

"Tapi kenapa petir masih menyala dan guntur bergemuruh?"

"Biarkan saja. Guntur dan petir itu adalah pelengkap hujan, kau tahu? Meskipun orang-orang berkata petir dan guntur adalah simbol kemarahan langit, tetapi tidak seperti itu sama sekali," jelas Tuan Mahawira.

"Lalu, apa artinya?"

"Anggap saja guntur itu suara alam, lalu petir adalah bagian darinya."

"Hmm, sama sekali tidak nyambung, Tuan." Aku mengernyit.

"Guntur adalah aku, dan kau itu petirnya, Cornelia. Suatu saat engkau akan mengerti."

Hujan pun mengguyur seluruh jagat. Tuan Mahawira menggandeng tanganku, lalu mengajak berjalan di tengah hujan lebat melewati petak-petak sawah yang tanahnya mengering. Namun, tidak lagi kering, sebab hujan membasahinya. Sejuk, meski aku menggigil dibuatnya.

Tuan Mahawira mempercepat langkahnya, aku pun demikian. Semburat senyum yang terukir di wajah tuanku, aku harap tidak akan hilang hingga kapan pun.

"Apa kau bahagia, Cornelia?" tanya Tuan Mahawira, sambil menatap lamat kedua mataku. Diraihnya kedua pipiku kemudian. Aku merespons dengan anggukan.

Tuan, Jangan Sakiti Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang