C&F 23 (dibalik kisah-1)

543 49 0
                                    

Kotak masuk:
Bisa kita bertemu? Lia sedang ada di Lombok. Mas juga kan.

Gara menatap pesan yang masuk di emailnya sehari lalu. Dia baru bisa mengecek emailnya malam ini karena kemarin dan seharian tadi Gara disibukan dengan segala hal tentang pembangunan proyek resort bersama teman-temannya.

Dengan cepat Gara membalas pesan dari perempuan yang telah lama tak memberinya kabar. Delia, nama perempuan itu. Tetangganya dulu atau teman masa kecil yang dia sayangi. Gara tentu saja merasa senang karena Delia kembali menghubunginya setelah keputusan perempuan itu untuk melanjutkan studi ke luar negri, mereka kehilangan kontak. Tapi akhirnya dia bisa melihat perempuan itu lagi.

Gara tidak mengatakan pertemuannya dengan Delia pada Azel. Dia hanya mengirim pesan tidak bisa ikut makan malam bersama karena ada yang harus dia selesaikan. Dan di sinilah Gara sekarang:

Tempat penginapan Delia.

Ini bukan hotel, villa ataupun penginapan lainnya. Tapi ini adalah rumah salah satu teman kuliah Delia. Perempuan yang dia rindukan itu memberinya alamat sebagai tempat pertemuan mereka. Gara pikir mereka akan bertemu di sebuah restoran, tapi melihat keadaan Delia yang pucat di atas tempat tidur membuat hal itu tidak mungkin.

"Hai, mas. Apa kabar?"

Gara hanya diam berdiri di ambang pintu, dia tidak yakin mendengar perkataan Delia dengan baik. Karena sejak tadi yang Gara lakukan hanya mengamati keadaan perempuan itu. Wajah pucat itu sangat kentara, bahkan lingkar mata Delia terlihat menghitam seperti akibat dari kelelahan yang terlalu.

Gara mendekati ranjang. Duduk di sisi pinggir dan masih menatap penuh tanya pada wajah pucat Delia.

"Apa yang terjadi? Kamu sakit? Apa tante tahu? Kenapa tidak pulang? Kenapa disini?... lia?"

Delia hanya terkekeh mendengar rentengan Gara. Setelah mengatur dirinya, Delia menjelaskan bahwa dia baik-baik saja. Ini hanya efek karena treamester pertama kehamilan seorang permpuan.

"Ka... kamu hamil?"

Gara mengusap wajahnya setelah tersadar dari lamunan singkatnya. Dia menatap sebuah pusaran bertulis nama wanita yang di sayangi. Tangannya bergerak otomatis mengusap, membersihkan entah debu yang menempel di sana.

Sudah 4 tahun lebih telah berlalu, tapi setiap datang mengunjungi makam ini Gara selalu merasakan sesak. Perasaan sedih itu selalu muncul dengan kenangan-kenangan yang berputar di kepala.

"Maaf," cicit Gara pelan. Dia akan selalu mengucapkan kata maaf untuk apa yang terjadi. "Maaf."

Lalu tepukan pelan di pundaknya membuat Gara mendongak ke atas. Dia melihat sosok wanita paruh baya yang sudah lama dia kenal berdiri di sampingnya dengan senyum tipis.

"Tante," sapa Gara beranjak berdiri dan menyalami wanita itu. "Kapan tante pulang dari singapur?"

"Baru tadi pagi, tante sempat mandi dulu sebelum ke sini," jawab wanita itu.

"Hm, kamu masih sering datang ke sini, Gara?" Gara mengangguk. Sedang wanita itu tersenyum senang.

"Jangan terus merasa menyesal. Ini semua bukan salahmu, Gara."

"Saya selalu merasa ikut andil dengan yang terjadi 4 tahun lalu."

Wanita di depan Gara hanya bisa tersenyum maklum. Dia mengusap dan meremas bahu pemuda yang sudah dianggapnya anak ini.

"Tidak ada yang perlu disesali. Semua berjalan baik sampai sekarang. Tante senang sampai detik ini kamu melakukan yang terbaik untuk anak tante," kata wanita itu bijak, dia melirik pusaran anak perempuannya semata wayang.

Setelah semua yang terjadi, wanita paru baya yang kini menggunakan hijab itu menyadari bahwa kelalaiannya sebagai seorang ibulah yang membawa anaknya berbaring disini. Sejak anaknya mulai beranjak remaja, dia hanya terlalu sibuk dengan urusannya dan melupakan putrinya. Kini dia sadar, Tuhan memanggil putrinya untuk memberinya pelajaran hidup serta kekuatan yang lebih.

"Pulanglah, nanti malam mampirlah ke rumah tante dengan Raisha. Tante rindu sekali." Gara mengangguk dan tersenyum tipis.

***

Gara duduk diam di pojok sofa, dia tersenyum melihat balita yang tampak riang bermain dengan kakeknya di lantai ruang TV. Salah satu hal yang paling disyukurinya selama 4tahun ini.

Gara tak bisa memungkiri keajaiban Tuhan atas kelahiran balita yang sudah dianggapnya anak sendiri itu. Dia adalah saksi hidup perjuangan balita kecil itu untuk tumbuh sampai saat ini. Darinya juga Gara mendapat kekuatan untuk tetap hidup dan menjalaninya dengan baik sebagai penebusan dosa.

"Rara tumbuh semakin cepat ya." Gara menoleh pada sosok wanita paruh baya yang kini duduk di sampingnya dengan membawakan potongan buah melon.

" Tante gak bayangin deh, setelah ini dia akan sekolah, trus tumbuh remaja, jadi gadis dewasa, dia akan pacaran, lalu--"

"Tante," potong Gara cepat. Dia menggeleng menanggapi ucapan wanita itu. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa riang.

"Haha kamu dan Aryan harus siap-siap saja menghadapi perkembangan anak perempuan."

Gara mengehela napas. Rasanya dia sulit membayangkan hal itu. Dia ingin balita kecilnya itu akan tetap seperti ini, menjadi malaikan kecilnya sampai akhir hidupnya.

Wanita yang masih duduk di samping Gara masih saja tersenyum lalu menepuk bahu Gara.

"Sudah jangan dipikirkan. Karena sebelum itu kamu harus menjemput bahagiamu sendiri Gara."

Gara diam. Pandangannya kembali lurus ke depan, menatap balita yang semakin aktif itu.

"Saya sudah cukup bahagia. Rara saja sudah cukup," jawab Gara. Dia selalu menekankan ucapan itu pada dirinya saat terbesit nama seseorang di dalam pikirkannya. Sungguh dia tak ingin egois.

"Ya tante tahu Rara adalah hadia yang membuatmu bahagia. Tapi masih ada lubang hitam di hatimu yang perlu diwarnai. Dan Rara tidak bisa mengambil tugas itu."

Gara tersenyum tipis, lalu menggeleng. Tiba-tiba berdiri, sepertinya dia butuh udara segar. Pembicaraan ini membuatnya sesak.

"Dia menunggu untuk kamu jemput Gara."

***

Gara berlari menyami langkah para medis yang mendorong bankar di sepanjang lorong rumah sakit. Matanya terasa sangat panas dengan dada yang sesak dan nyeri melihat gadis yang dicintainya terbaring tak sadarkan diri, berlumuran darah di atas ranjang yang di dorong.

Tubuhnya lemas seketika saat Maura dimasukan ke ruangan tanpa dirinya karena dilarang masuk. Air matanya pun sudah jatuh memikiran kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi di dalam sana.

"Ku mohon... ku mohon..."

Derap langkah kaki semakin mendekati Gara. Dia seketika mendongak dan menemukan empat pasang mata yang menatapnya butuh penjelasan.

"Gara, nak... ba-bagaimana Ara? Dia baik-baik saja kan?" Tanya Rianti--bunda Ara yang mendekatinya dengan tubuh yang disanggah oleh Azel.

"Bagaimana keadaan Rara? Ba-bagaimana ini terjadi?" Sekarang giliran ayah Ara.

Gara bingung, dia tak tahu harus menjelaskan dari mana. Dia masih tak tahu bagaimana keadaan Maura di dalam sana. Dan dia juga merasa menyesal karena pertemuannya dengan Maura tadi membawa gadis itu pada maut. Apa yang harus dia katakan pada keluarga Maura sekarang? Apa dia harus mengatakan bahwa dialah penyebab Maura ada di dalam sana? Dia bahkan masih bergetar mengingat mobil Maura yang terpental setelah tabrakan itu.

"Ini semua salahmu! Kamu pembunuh! Kamu penyebab mereka sekarat! Kamu!"

Seketika Gara terbangun dari tidurnya dengan keringat bercucur deras. Jantungnya bertalu cepat. Seluruh tubuhnya bergetar hebat.

Mimpi itu. Mimpi yang membawanya pada peristiwa 4 tahun lalu selalu berakibat fatal padanya. Walau semua sudah berakhir baik, walau semua orang tak pernah menyalahkannya, tapi tetap saja jiwa terdalamnya selalu menyudutkannya pada rasa bersalah.

"Ku mohon... ku mohon..."

Code & Food Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang