C&F 31 (Epilog Rasa)

936 57 8
                                    

2 tahun kemudian,

Langit Lombok tampak sangat cerah, berpadu dengan pesona hamparan pantai yang menyegarkan mata. Anginnya tak begitu lebat, malah terkesan bersahabat dengan wisatawan yang selalu memuja pulau ini.

Ara sengaja membuka jendela mobil di sisi penumpang, dagunya dia topangkan di pinggiran jendela lalu merasakan sentuhan angin yang menerpa wajahnya dengan lembut.

Perempuan itu tersenyum saat sepanjang jalan matanya dimanjakan oleh pemandangan pantai dan telinganya oleh deru ombak. Sungguh menenangkan, menurutnya.

"Ah! Rasanya lama sekali gak ngerasa nyaman seperti ini," kata Ara. Dia sandarkan punggungnya ke kursi penumpang, pandangannya masih ke arah luar jendela karena dia enggan menutupnya. Bibirnya bersenandung lirih, seakan menyampaikan suasana hati yang menyenangkan.

Sudah lama sekali dia tak merasa sebebas ini. Dan tak terasa sudah 2 tahun berlalu, kini Ara akhirnya kembali ke tanah air. Tapi, bukan rumah orang tuanya yang pertama kali dia datangi, Ara lebih memilih langsung ke Lombok. Tempat dimana dia akan mulai kembali dari awal. Tidak lagi kabur, tapi memilih menghadapi.

***

Andine memeluk Ara erat saat adik iparnya itu baru keluar dari mobil yang disiapkan suaminya untuk menjemput di bandara. Dia sungguh senang dengan keputusan sahabatnya ini untuk kembali menetap di sini dan bukannya memilih menjadi orang asing di negara lain.

"Kangen," tutur Andine. Ara terkekeh lalu melepaskan pelukan Andine.

"Boong banget. sebulan lalu juga kamu ke sana."

Andine mendengus, "Sialan! Bilang kangen juga kek."

"Ndine!" Seruan bernada peringatan terdengar dari arah belakang Andine mengingatkan Andine untuk pintar memilih kata.

Dan mereka tentu tahu suara siapa itu. Yap! Mereka temukan Azel yang sedang berdiri di depan pintu sambil menggendong Aksa-- balita berumur 1 tahun.

"Ups! Sorry mas."

Ara terkekeh. "Makanya itu mulut isinya jangan umpatan mulu." Ara menjulurkan lidah pada Andine sebelum mendekati kakak dan keponakannya.

Ara melangkahkan kakinya yang sedikit menyeret perlahan. "Hai mas, Ara pulang," sapanya.

Azel mengangguk. Dia membelai kepala Ara lalu mendaratkan kecupan di dahi adiknya. Dia merangkul bahu Ara lalu mengajak adiknya itu masuk ke dalam rumah minimalis bernuansa putih-hitam.

"Gimana kamu suka?" Tanya Azel.

"Pasti dong ya. Ini semua aku yang desaign. Awas kalo bilang gak suka!" Belum apa-apa Andine langsung memberi Ara ancaman. Membuat perampuan yang kini berambut pendek itu mau tak mau mengangguk dan memuji hasil sentuhan tangan kakak iparnya.

"Gak rugi jadiin kamu kakak ipar, Ndine. Ada gunanya juga ya."

Andine hampir saja mau mengumpat saat tatapan tajam suaminya menghunus netranya.

"Yang pasti gak gratis ya, Ra." Telunjuk Andine mengarah pada Ara seakan memberi ultimatum. "Ayo lihat kamarnya!" Lalu dengan semangat dia mengaja Ara meninjau kamar yang sudah dia renovasi.

***

Ara memang sudah berniat akan kembali pulang, tapi dia sama sekali tidak berniat kembali ke kota dimana dia pernah benar-benar terluka. Seperti halnya saat di Singapura, kembali ke tanah air pun Ara berharap bisa memulai hidupnya lebih baik lagi.

Maka pilihannya jatuh di pulau Lombok ini. Pulau dengan banyak keindahan pantai yang membuat siapapun betah menetap.

Ya, Ara akan memulai semua di sini. Berbekal dukungan dari semua keluarga, Ara mampu membeli sepetak tanah yang kini sudah di dirikan rumah di atasnya. Rumah minimalis yang khusus dibuatkan Kakak dan iparnya untuk Ara.

Dia tinggal menetap saja tanpa kerepotan apapun, karena semua sudah diurus oleh Azel. Dari mulai perabotan sampai berkas-berkas izin menetap di sini. Bahkan, Ara juga mendapatkan pekerjaan di resort milik Azel sebagai manager bagian restoran di sana.

Resort milik Azel sudah didirikan sejak 6 tahun yang lalu, saat itu Azel benar-benar bekerja keras membagi waktunya untuk pembangunan resort dan mengurus Ara yang sedang sakit dan terpuruk. Kakaknya itu bahkan rela bolak-balik surabaya-lombok-singapura untuk mengurus semuanya.

Tapi semua terbayar sekarang, Aracelli resort sudah berjalan kurang lebih 3 tahun ini. Dengan dukungan keluarga dan kegigihan Azel, dia menunjukan pada semua orang bahwa istilah usaha tidak pernah mengkhianati hasil adalah benar adanya.

Selain berperan sebagai kakak yang paling baik di dunia, sesungguhnya Azel juga dikenal sebagai pebisnis yang handal. Kakaknya benar-benar bisa melihat peluang tanpa takut akan resiko.

Dukungan Azel jugalah yang membuat Ara berani mendirikan toko di negara orang, bahkan sekarang dia memiliki 3 toko di sana. Semua karena didikan kakaknya. Ara juga tidak akan lupa apa yang pernah dikatakan Azel. Kakaknya itu pernah berkata, bahwa resiko akan selalu ada di setiap keputusan yang diambil manusia dan untuk melihat apa kita mampu menyelesaikan resiko itu atau tidak, caranya ya cuma mulai melakukan. Melakukan dengan cara paling baik.

***

Ini memang hari pertama Ara bekerja, sejak pagi Azel membawanya meninjau resort dan restoran. Mengenalkannya pada semua pekerja lalu meninggalkannya untuk meeting dengan klien. Azel memang memintanya pulang pukul 3 sore untuk keistimewaan hari pertama bekerja.

Tapi Ara benar-benar tidak bisa melewatkan keindahan yang dia lihat dari rooftop restoran.

Ara menyeret kakinya ke pinggiran rooftop restoran saat matahari sedikit-sedikit mulai menurun. Hembusan angin lirih masih mampu menerbangkan anak rambutnya. Juga mengirimkan hawa dingin ke udara.

Ara memeluk dan mengelus lengannya sendiri saat dirasa tubuhnya mulai kedinginan. Tapi dia masih sangat betah melihat pemandangan laut sore dan matahari yang mulai kembali ke peraduan. Sangat indah, menurutnya.

Sayangnya, suasana tenang dan romantis seperti ini harus Ara habiskan seorang diri. Diliputi oleh rasa rindu akan seseorang, dan keinginan bisa bertemu membuat Ara malas beranjak untuk pulang ke rumah. Dia malas terkurung di dalam ruangan kamar yang malah membuatnya sesak oleh kenangan.

Ara memejamkan matanya, merasakan hembusan angin yang menerpa lembut dengan pikiran yang membentuk bayangan wajah seseorang.

Seseorang yang sangat di rindukan, seseorang yang ingin sekali dia temui tapi terhalang ego, seseorang yang saat ini bisa dia rasakan kehadirannya. Ara menangis.

"Mau sampai kapan di sana, Maura?"

Ara tersenyum disela air matanya. Kehadiran itu begitu nyata, Ara bahkan mampu mendengar suaranya dengan begitu jelas. Rindunya benar-benar sialan.

"Aku tanya sampai kapan kamu di sini?"

Tidak. Sekarang Ara benar-benar terkejut. Dia merasakan suara itu tepat di sampingnya, dengan sampiran kain yang membalut tubuhnya dari belakang dan sentuhan di pundaknya.

Ara segera menoleh, dan benar. Dia melihat sosok itu di hadapannya. Tersenyum dengan tampan.

"Kenapa aku selalu membuatmu menangis, Maura?"

Ara hanya bisa diam, memejamkan matanya saat tangan hangat itu terulur ke pipinya, menyapu matanya yang kian basah dan membelai pipinya lembut.

"Aku selalu menyakitimu. Tapi aku tidak bermaksud membuatmu menangis seperti ini, Muara. Maaf--"

Suara Gara mengantung di udara. Dia dikejutkan oleh Ara yang tiba-tiba memeluknya erat.

"Ara kangen mas Gara," lirih, tapi Gara masih dapat mendengarnya walau sayup-sayup. Bibirnya membentuk lengkungan lebar, dadanya berdebar oleh rasa lega dan senang yang datang bersamaan.

Dia membalas pelukan Ara tak kalah kuat, mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Sungguh dia merindukan perempuan ini.

"Terima kasih sudah kembali pulang, Maura."

Tepat! Semuanya terasa pas. Suara riak ombak, semburat jingga di langit, embusan lirih angin, lilitan lengan yang saling memeluk hangat. Sungguh, inilah arti pulang dan penantian yang sebenarnya mereka perjuangkan. Perasaan mereka telah bersambut. Rindu mereka saling berbalas. Kini mereka bisa menikmatinya, perasaan yang begitu ringan.

End.

Code & Food Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang